selamat datang

Karena Semua Hal Perlu Dikomunikasikan :))

Senin, 11 Juni 2012

Wahai Pendidikan yang Abnormal


“Pendidikan adalah sebuah kenyataan yang tidak lain dari proses pembenaran akan praktek-praktek penindasan yang melembaga” Paolo Freire.
Dunia pendidikan adalah nyawa dari kemajuan bangsa. Pendidikan merupakan pondasi sebuah bangunan bangsa dan negara. Bila kita melihat kondisi pendidikan di Indonesia, sungguh sangat memprihatinkan, karena sampai saat ini sektor pendidikan belum mendapat perhatian penuh dari lembaga negara. Negara saat ini lebih mementingkan sektor ekonomi dan politik. Padahal kita tahu tanpa adanya fundamental yaitu tingkat pengetahuan dan kecerdasan, maka kesemuanya akan tak bermakna. Apalah artinya membangun sistem politik dan ekonomi untuk kemajuan bangsa, tetapi rakyat berada dalam dunia kebodohan. Lain halnya bila aparatur negara sengaja manciptakan sistem yang hanya menguntungkan pihaknya saja tanpa peduli akan nasib masa depan bangsa.
Hilangnya jati diri
Kondisi pendidikan di tanah air kian kehilangan jati diri dan jiwanya seiring dengan krisis multidimensi dan arus globalisasi yang melanda. Fungsi lembaga pendidikan sebagai wahana penempatan generasi muda untuk menguasai berbagai disiplin ilmu yang kelak menjadi pahlawan untuk membebaskan kita semua dari belenggu ‘penjajahan’—baik yang dilakukan oleh bangsa asing maupun bangsa sendiri—telah berfungsi menjadi wilayah yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat pragmatis.
Ada pepatah yang menyatakan bahwa harta tanpa ilmu adalah hampa dan sia-sia,. Tetapi dengan ilmu, harta akan mudah didapat dan lebih bermanfaat. Tapi ini tak berlaku di negeri kita. Nyatanya kaum borjuis makin kaya raya walau dengan latar belakang pendidikan yang tidak jelas. Gelar akademik sangat mudah didapat, bahkan dari perguruan tinggi negeri sekalipun. Yang mereka cari hanyalah prestise yang menolong penampilannya serta mandapat pengakuan dari masyarakat. Institusi pendidikan sudah beralih pada paradigma finansial. Pendidikan menjadi lahan bisnis para birokrat. Dan dampaknya pendidikan sudah mengalami distorsi. Pendidikan di negeri ini sudah dapat dikatakan abnormal layaknya orang yang tak waras. Dia sudah mulai linglung dan tidak tahu akan jatidirinya sebagai media berproses bagi rakyat, yang kelak diharapkan mampu menciptakan konstruksi masyarakat yang sitematis (agent of change). Beberapa konsep, diktum, dan metodologi yang bermacam-macam dalam sistem pendidikan sampai sekarang masih dalam taraf utopis yang belum mapu membumi. Tak pelak, visi dan misi institusi pendidikan hanya menjadi sebuah jargon-jargon belaka.
Saat ini parameter keberhasilan pendidikan hanya didasakan pada sebuah nilai. Tak heran hampir seluruh pelajar hanya berorientasi pada pencapaian angka di lembaran buku rapot atau ijasah. Pemerintah berusaha menaikkan standar kelulusan dengan maksud mencerdasan kehidupan bangsa. Tapi malah ini yang menjerumuskan masa depan bangsa. UN hanya berpatok pada tiga mata pelajaran saja, yang berakibat pengesampingan pelajaran lain oleh siswa.Selain itu, banyak contoh kasus yang penulis tahu, pihak sekolah membentuk tim sukses bagi kelulusan siswa dengan jalan yang picik. Siswa tidak pernah tahu hasil kelulusannya itu berkat bantuan dari para guru mereka. Ini dimaksudkan untuk mendongkrak popularitas sekolah tersebut pada tahun ajaran baru. Dan dengan demikian, akan dengan mudahnya pihak sekolah me-malak orang tua siswa yang akan menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut lewat uang sumbangan.
Ironis memang tatkala nilai luhur atau jiwa dan konsep pendidikan yang begitu penting bagi manusia–sampai-sampai menadapat justifikasi dari segala aturan hidup seperti hukum agama, adat, sampai negara yang mengharuskan manusia untuk melaksanakan proses pendidikan—apabila dibenturkan dengan realitas di tengah bangsa kita. Yang dilahirkan dari rahim pendidikan ternyata belum mampu memberi kontribusi bagi kemajuan malah kian menggerogoti. Apakah pendidikan kita memang sudah abnormal? Wahai pendidikan yang abnormal, sudah saatnya engkau bangun dari ketidaksadaranmu, karena sampai saat ini belum ada psikiater atau rumah sakit jiwa untukmu. Semoga pendidikan dapat segera sadar.

Oleh: Bambang Wibiono*

1 komentar: