selamat datang

Karena Semua Hal Perlu Dikomunikasikan :))

Kamis, 19 Januari 2012

Teori Negosiasi Muka

Oleh: Innas Rizky Afria

 
Teori Negosiasi muka adalah satu dari sedikit yang secara eksplisit mengakui bahwa orang dari budaya yang berbeda memiliki bermacam pemikiran mengenai “muka” orang lain. Pemikiran ini menyebabkan mereka menghadapi konflik dengan cara yang berbeda. Karena muka merupakan perpanjangan dari konsep diri seseorang, muka telah menjadi fokus dari banyak penelitian di dalam beberapa bidang ilmu.

Asumsi Teori Negosiasi Muka

1.    Identitas diri penting di dalam interaksi interpersonal, dan individu-individu menegosiasikan identitas mereka secara berbeda dalam budaya yang berbeda.
Asumsi yang pertama menekankan pada identitas diri ( self-identity), atau cirri pribadi atau atribut karakter seseorang. Identitas diri mencakup pengalaman kolektif seseorang, pemikiran, ide, memori, dan rencana (West & Turner, 2006 ). Identitas diri orang tidak bersifat stagnan, memalinkan dinegosiasikian dalam interaksi dengan orang lain. Melekat dengan asumsi pertama ini adalah keyakinan bahwa para individu di dalam sebuah budaya memiliki beberapa citra diri yang berbeda dan bahwa meraka menegosiasikan citra ini secara terus menerus. Ting-Toomey (1993 ) menyatakan bahwa rasa akan diri seseorang merupaka hal yang sadar atau tidak sadar. Maksudnya, dalam banyak buadaya yang berbeda, orang-orang membawa citra yang mereka presentasikan kepada orang lain secara kebiasaan atau strategis. Ting-Toomey percaya bahwa bagaimana kita memersepsikan rasa akan diri kita dan bagaimana kita ingin orang lain untuk memersepsikan kita merupakan hal yang sangat penting dalam pengalaman komunikasi kita.
 
2.    Manajemen konflik dimediasi oleh muka dan budaya
 
Asumsi kedua dari Teori Negosiasi Muka berkaitan dengan konflik, yang merupakan komponen utama dari Teori ini. Konflik dalam Teori ini, bekerja sama dengan muka dan budaya. Bagi Ting-Toomey (1994), konflik dapat merusak muka sosial seseorang dan dapat mengurangin kedekatan hubungan antara dua orang. Sebagai mana ia menyatakan bahwa konflik adalah “ forum “ bagi kehilangan muka dan penghinaan terhadap muka.
 
3.    Tindakan-tindakan tertentu mengancam citra diri seseorang yang ditampilkan
 
Asumsi ketiga dari Teori Negosiasi Muka berkaitan dengan dampak yang dapat diakibatkan oleh suatu tindakan terhadap muka. Ting-Toomey dan Mark Cole (1990) jika pencitraan diri kita terancam ada dua proses untuk memperbaiki citra tersebut:
•    Penyelamatan Muka (face-saving), yaitu mencakup usaha – usaha untuk mencegah peristiwa yang dapat menimbulkan kerentanan atau merusak citra seseorang. Penyelamatan wajah sering kali tidak memperdulikan rasa malu.
•    Pemulihan Muka (face restoration), yaitu strategi yang digunakan untuk mempertahankan otonomi dan menghindari kehilangan muka. Pemulihan muka dilakukan setelah terjadi kehilangan muka. Ting-Toomey dan 
Cole mengamati bahwa orang berusaha untuk memulihkan muka dalam rangka merespon suatu peristiwa. 


Teori Kelompok Bungkam (Muted Group Theory)

Oleh: Innas Rizky Afria


Teori kelompok bungkam menjelaskan bahwa wanita berusaha menggunakan bahasa yang diciptakan oleh pria untuk mendeskripsikan pengalaman mereka dalam cara yang sama seperti halnya ketika seorang penutur asli bahasa inggris belajar bercakap-cakap dalam bahasa Spanyol.
Tetapi, tidak semua wanita bungkam dan semua pria memiliki suara. Teori kelompok bungkam memungkinkan kita untuk memahami kelompok mana pun yang dibungkam karena tidak memadainya bahasa mereka. Selain itu, pembungkaman dapat terjadi sebagai hasil dari ketidakpopuleran pandangan yang berusaha untuk diungkapkan seseorang.
Pencetus Teori: Edwin Ardener dan Shirley Ardener yang merupakan seorang antropolog sosial.
Latar Belakang Pemikiran
Edwin Ardener dan Shirley Ardener melakukan penelitian berkaitan dengan struktur dan hierarki sosial. Pada tahun 1975, Edwin Ardener mengatakan bahwa kelompok yang menyusun bagian teratas dari hierarki sosial menentukan sistem komunikasi bagi budaya tersebut. Kelompok dengan kekuasaan lebih rendah seperti wanita, kaum miskin, dan orang kulit berwarna, harus belajar untuk bekerja dalam sistem komunikasi yang telah dikembangkan oleh kelompok dominan. Dengan mengubah generalisasi ini ke dalam kasus tertentu mengenai wanita di dalam budaya. Edwin Ardener menyatakan, “Mereka yang terlatih dalam bidang etnografi jelas-jelas memilih bias terhadap jenis model yang para pria siap diberikan (atau disetujui) oleh para pria dibandingkan terhadap model mana pun yang dapat diberikan wanita. Jika pria tampak lebih pandai bicara dibandingkan wanita, ini merupakan kasus dari orang-orang yang sama berbicara mengenai hal yang sama.”
Selain itu, Shirley Ardener mengamati bahwa kebungkaman wanita merupakan pasangan dari ketulian pria. Karenannya, ia menjelaskan bahwa wanita (atau anggota dari kelompok bawah mana pun) memang berbicara, tetapi kata-kata mereka berjatuhan pada telinga yang tuli (tidak mau mendengarkan), dan ketika ini terjadi sejalan dengan waktu, mereka cenderung berhenti mencoba untuk mengemukakan pendapat mereka, dan bahkan mereka mulai berhenti untuk memikirkannya.
Bagi Edwin, kelompok yang bungkam dianggap tidak pandai berbicara oleh sistem bahasa kelompok yang dominan, yang tumbuh secara langsung dari pandangan terhadap dunia dan pengalaman mereka.

Bagi kelompok bungkam, apa yang mereka katakan pertama kali harus bergeser dari pandangan mereka sendiri terhadap dunia dan kemudian diperbandingkan dengan pengalaman-pengalaman dari kelompok yang dominan. Karenanya, artikulasi bagi kelompok bungkam merupakan hal yang tidak langsung dan rusak.
Asumsi Dasar
•    Wanita mempersepsikan dunia secara berbeda dibandingkan pria karena pengalaman pria dan wanita yang berbeda serta adanya kegiatan-kegiatan yang berakar pada pembagian pekerjaan.
•    Karena dominasi politik mereka, sistem persepsi pria dominan, menghambat ekspresi bebas dari model alternatif wanita mengenai dunia.
•    Agar dapat berpartisipasi di masyarakat, wanita harus mentransformasi model mereka sendiri sesuai dengan sistem ekspresi pria yang diterima.
Kelemahan teori dan kritik
Teori kelompok bungkam telah dikritik karena tidak memiliki kegunann karena teori ini terlibat dalam esensialisme, atau keyakinan bahwa semua pria pada esensinya adalah sama dan semua wanita pada esensinya adalah sama dan keduannya berbeda satu sama lain.
Tidak terlalu banyak kajian yang telah menggunakan teori kelompok bungkam sebagai kerangka, dan sedikit yang menggunakannya sering kali tidak menghasilkan dukungan empiris. Kritikus menyatakan bahwa teori ini harus dibuang karena asumsi-asumsinya yang kuno tidak divalidasi secara empiris.
Teori kelompok bungkam adalah teori yang provokatif dan menyebabkan kita berpikir dalam bias bahasa. Teori ini juga memberikan penerangan pada apa yang kita terima dan kita tolak dari pembicara. Selain itu, teori ini juga menjelaskan beberapa permasalahan yang dialami wanita dalam berbicara di berbagai latar. Terserah kepada kita untuk memutuskan apakah isu-isu ini membentuk bias yang sistematis terhadap kelompok bawahan dan mendukung kelompok dominan, sebagaimana dinyatakan teori kelompok bungkam.


Senin, 02 Januari 2012

Media Baru, Media Sosial dan Ruang Publik bagi Masyarakat


 oleh: Innas Rizky Afria

Media baru merupakan sebuah terminologi untuk menjelaskan konvergensi antara teknologi  komunikasi digital yang terkomputerisasi serta terhubung ke dalam jaringan. Contoh dari media yang sangat merepresentasikan media baru adalah internet. Program televisi, film, majalah, buku, surat kabar, dan jenis media cetak lain tidak termasuk media baru. Media sosial adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial , wiki, forum, dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia (www.wikipedia.org).

Mediamorfosis sebagai Dampak Kemajuan Teknologi
Berbicara tentang teknologi media baru, tak bisa dilepaskan dari konteks globalisasi. Globalisasi sebagai hasil perkembangan teknologi transportasi komunikasi dan informasi memungkinkan interaksi antara setiap orang di dunia lebih cepat dari masa-masa sebelumnya. Era internet telah menjadi sebuah fenomena revolusioner pasca industri. Ia telah mampu membangun sebuah konektivitas yang masif, yang sebelumnya hampir tidak pernah dapat dibayangkan. Situasi ini telah disinggung oleh Thomas Friedman (2006) dalam bukunya The World Is Flat.
Kemajuan teknologi internet, yang puncaknya terjadi pada penemuan World Wide Web (www), telah melahirkan sebuah “dunia baru” yang saling terkoneksi, dan seakan menjadi satu kesatuan. Hal ini berubah menjadi sebuah medium berbagi yang efektif, di mana setiap individu di seluruh dunia dapat berkomunikasi dan bertukar informasi satu sama lain secara efisien. Siapapun di dunia ini, secara face to face, tanpa “sekat”  bercanda dan bertegur sapa kapan saja dan di mana saja. Oleh karena itu media baru yang berupa internet tersebut dikatakan sebagai dunia tanpa batas. Kemunculan teknologi baru ini memiliki potensi untuk menghubungkan orang secara efektif, teknologi bisa membantu membentuk komunitas baru dengan menjembatani perbedaan budaya dan melarutkan hambatan dalam ruang dan waktu. Masyarakat dapat melihat tatanan sosial yang ideal di mana teknologi baru mendorong pemahaman budaya sehingga orang dapat mempelajari mengenai budaya yang berbeda dan kemudian bisa menciptakan satu keselarasan dengan saling bertukar informasi maupun pengalaman.
Menurut pandangan Winston (dalam Fidler, 2003: 29), akselerator yang mendorong perkembangan berbagai teknologi media baru adalah kebutuhan sosial yang muncul akibat perubahan (supervening social necessities). Ini dipahami sebagai “hubungan timbal balik antara masyarakat dan teknologi”. Kebutuhan ini berasal dari kebutuhan perusahaan, tuntutan akan teknologi lain, penetapan regulasi/hukum, dan kekuatan-kekuatan sosial.
Perkembangan teknologi mendorong proses yang disebut oleh Roger Fidler sebagai mediamorfosis. Mediamorfosis diartikan sebagai media komunikasi, yang biasanya ditimbulkan akibat hubungan timbal balik yang rumit antara berbagai kebutuhan yang dirasakan, tekanan  persaingan dan politik, serta berbagai inovasi sosial dan teknologi (Fidler, 2003: 35).
Teknologi baru akan mampu mengakhiri masalah-masalah sosial dan mengarah pada pengembangan dunia sosial yang ideal. Tetapi dalam jangka pendek, industrialisasi teknologi baru juga bisa menimbulkan masalah, antara lain eksploitasi besar pada para pekerja, polusi, dan kerusuhan sosial. Apalagi ketika masyarakat belum mampu mengadopsi suatu teknologi baru namun dipaksakan menerimanya.
Pada saat ini kita dihadapkan pada satu permasalahan yang cukup mendasar tentang informasi yang beredar dan ilmu pengetahuan. Internet telah diyakini banyak orang sebagai sumber informasi yang aktual. Namun, di era seperti sekarang ini informasi-informasi yang beredar di internet semakin menyesaki kehidupan dan tidak terkontrol sehingga semakin susut maknanya. Informasi bukan hanya kehilangan maknanya, informasi juga telah berubah menjadi barang yang bisa dikonsumsi dan dikomersialisasikan. Informasi telah menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan tanpa memperhitungkan aspek kegunaan dan manfaatnya. Masyarakat informasi larut dalam informasi dan punya ketergantungan yang luar biasa akan perangkat teknologi informasi maupun komunikasi. Saat ini, kualitas ilmu pengetahuan yang beredar di internet pun perlu dipertanyakan kembali.
Selain permasalahan tersebut, perkembangan teknologi media juga akan berkaitan dengan tingkat perbedaan kemakmuran masyarakat pengguna jasa internet. Semakin kaya suatu masyarakat, akan semakin besar aksesnya pada informasi di internet sehingga internet hanya akan bisa dijangkau oleh mereka yang memiliki kapital besar. Ketimpangan ekonomi kemudian diikuti dengan pesebaran informasi dan pengetahuan yang selalu menjadi monopoli negara maju. Faktor SDM juga akan mempengaruhi pemahaman kita terhadap content dari internet yang kebanyakan cenderung berbahasa inggris. Hambatan lain adalah jurang kemelekan teknologi (literacy of technology) antara negara maju dan negara berkembang.
Marak dan berkembang pesatnya teknologi yang turut mendorong kemunculan media baru didasarkan atas tiga hal. Pertama, kekuatan-kekuatan ekonomi, politik, dan sosial memainkan peran besar dalam perkembangan teknologi-teknologi baru. Kedua, berbagai penemuan dan inovasi tidak diadopsi secara luas lantaran keterbatasan teknologi itu sendiri. Ketiga, pasti selalu ada kesempatan dan alasan ekonomi, sosial dan politik yang mendorong pengembangan teknologi baru (Winston, dalam Fidler, 2003: 29).

Munculnya Belahan Sosial Baru
Saat teknologi internet dan mobile phone makin maju maka media sosial pun ikut tumbuh dengan pesat. Kini untuk mengakses facebook atau twitter misalnya, bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja hanya dengan menggunakan sebuah mobile phone. Demikian cepatnya orang bisa mengakses media sosial mengakibatkan terjadinya fenomena besar terhadap arus informasi tidak hanya di negara-negara maju, tetapi juga di Indonesia. Karena kecepatannya media sosial juga mulai tampak menggantikan peranan media massa konvensional dalam menyebarkan berita-berita.
Pesatnya perkembangan media sosial kini dikarenakan semua orang seperti bisa memiliki media sendiri. Jika untuk memiliki media tradisional seperti televisi, radio, atau koran dibutuhkan modal yang besar dan tenaga kerja yang banyak, maka lain halnya dengan media sosial baru. Seorang pengguna media sosial bisa mengakses menggunakan media sosial dengan jaringan internet bahkan yang aksesnya lambat sekalipun, tanpa biaya besar, tanpa alat mahal dan dilakukan sendiri tanpa karyawan. Pengguna media sosial dengan bebas bisa mengedit, menambahkan, memodifikasi baik tulisan, gambar, video, grafis, dan berbagai model content lainnya.
Kemunculan internet sebagai sebuah sistem yang masif, telah memberi konsekuensi pada berbagai segi. Jhon Naisbitt menaruh kepercayaan besar pada kemampuan teknologi informasi untuk membawa perubahan radikal dalam semua ranah, termasuk ekonomi. Baginya, informasi memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan radikal dengan menciptakan kompleksitas dalam relasi sosial, ekonomi, maupun ranah-ranah lainnya (dalam Jatmiko, 2005: 25).
Munculnya masyarakat informasi yang mewujudkan belahan sosial (social cleavage) baru semakin memberi pengaruh terhadap kehidupan sosial di masyarakat. Kelompok ini didominasi oleh orang-orang muda yang menguasai informasi dan teknologi informasi, mereka tergabung dalam komunitas-komunitas virtual yang terkoneksi. Kemunculan media sosial seperti facebook, twitter, plurk, youtube, memberi kontribusi yang berarti pada pesatnya perkembangan dunia sosial tanpa batas tersebut. Pada akhir tahun 2010 saja, diprediksi ada sekitar 2 miliar orang yang terkoneksi oleh internet, 500 juta orang terdaftar sebagai pengguna facebook, dan yang paling mengejutkan, laju pertumbuhan pendaftar twitter tercatat sekitar 2,1 juta per minggu (Davies, dalam Ishak, 2011).
Selanjutnya, masyarakat ini menjadi individu yang memiliki sifat-sifat independen, kuat, berpengaruh, dan bekerja dalam prinsip-prinsip yang setara. Mereka memiliki kepentingan yang berbeda-beda dan makin variatif. Kondisi ini melahirkan sebuah asumsi bahwa media sosial yang dijalankan oleh kelompok muda yang memiliki visi yang kuat telah berubah menjadi perangkat yang efisien, powerful, dan terbuka, yang dapat memfasilitasi berbagai pandangan dan kepentingan yang sebelumnya cukup tertutup. Kemunculan media sosial telah memberikan perubahan yang cukup drastis pada berbagai organisasi tradisional. Banyak organisasi bisnis, politik, sosial yang telah mengadaptasi media sosial sebagai bagian dari perangkat strategis internal organisasi (Rasha Proctor, 2011 dalam www.kompasiana.com). Media sosial tidak lagi dianggap sekadar fenomena interaksi (komunikasi) biasa, namun ia telah menjadi faktor determinan yang dianggap mampu mengubah lingkungan secara dramatis.

Internet dan Penciptaan Ruang Publik
Di tengah perkembangan zaman dengan ditandainya kemajuan teknologi dengan pesat, termasuk dalam industri media, terdapat segala manfaat dan resikonya. Semua ini merupakan implikasi logis dari perkembangan zaman. Ketertinggalan mengenal dan menguasai teknologi akan semakin membuat kita berada jauh di belakang dari sebuah peradaban.
Saat ini media sosial seperti media baru di ranah maya yang berhasil menemukan momentumnya. Lahirnya teknologi internet semakin membuat booming penggunaan media sosial. Semua orang terbukti memang senang berbagi dan mendengar rekomendasi teman dan jejaringnya di dunia maya.
Kehadiran internet telah membuka ruang baru, yaitu sebuah “ruang imajiner” yang di dalamnya setiap orang dapat melakukan apa saja yang bisa dilakukan dalam kehidupan sosial sehari-hari dengan cara yang baru (Pialang, 2005: 7). Cara artifisial ini sangat mengandalkan peran teknologi, khususnya teknologi komputer dan informasi dalam mendefinisikan realitas, sehingga berbagai kegiatan yang dilakukan di dalamnya seperti bersenda gurau, berdebat, diskusi, bisnis, brainstorming, gosip, protes, kritik, bermain, bermesraan, bercinta, menciptakan karya seni, dapat dilakukan di dalam cyberspace (ruang publik tanpa batas).
Dalam era globalisasi pasar dan informasi dewasa ini, sulitlah membayangkan adanya forum atau panggung komunikasi politis yang bebas dari pengaruh pasar ataupun negara. Kebanyakan seminar, diskusi publik, demonstrasi, dan seterusnya didanai, difasilitasi, dan diformat oleh kekuatan finansial besar, entah kuasa bisnis, partai, atau organisasi internasional dan seterusnya. Hampir tak ada lagi lokus yang netral dari pengaruh ekonomi dan politik. Seperti halnya yang dijelaskan oleh Winston di atas, bahwa akan selalu ada alasan ekonomi, sosial, dan politik serta kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik dalam  perkembangan teknologi media.
Analisis Habermas, membayangkan masyarakat kompleks dewasa ini sebagai tiga komponen besar, yaitu sistem ekonomi pasar (kapitalisme), sistem birokrasi (negara), dan solidaritas sosial (masyarakat), lokus ruang publik politis terletak pada komponen solidaritas sosial (dalam Hardiman, 2006). Dia harus dibayangkan sebagai suatu ruang otonom yang membedakan diri, baik dari pasar maupun dari negara. Setidaknya dengan adanya era globalisasi dan demokratisasi, telah terbuka ruang-ruang umum yang bebas diakses oleh masyarakat umum. Dengan demikian seharusnya dengan terbukanya ruang publik tersebut, dapat dijadikan sarana untuk berkomunikasi untuk mendiskusikan atau menyelesaikan persoalan yang menyengkut hajat hidup orang banyak. Ruang-ruang tersebut seharusnya dapat dimanfaatkan oleh seluruh elemen baik antar lembaga pemerintah maupun masyarakat sipil dan pemerintah. Kita harus bisa memanfaatkan peluang yang ada untuk mendukung demokratisasi dan kebaikan bersama.
Masyarakat sipil tidak hanya sebagai aktor atau pelaku, tetapi mereka juga merupakan penghasil ruang publik politis itu sendiri. J.Cohen dan A. Arato, memberikan ciri ruang publik politis yang dihasilkan oleh masyarakat sipil yaitu adanya pluralitas (seperti keluarga, kelompok nonformal, dan organisasi sukarela), publisitas (seperti media massa dan institusi budaya), privasi (seperti moral dan pengembangan diri), dan legalitas (struktur hukum dan hak-hak dasar). Itu artinya rakyat sipil bisa turut aktif dalam menciptakan ruang publik politis tersebut untuk menyuarakan opini, saran, maupun kritik terhadap sistem politik yang sedang berjalan.
Dalam demokrasi, ruang publik tidak harus ruang-ruang formal, tetapi juga bisa berupa ruang yang sifatnya informal. Hadirnya internet sebagai cyberspace mampu membuka ruang demokrasi, karena dunia maya adalah dunia yang tanpa otoritas. Penggunanya dapat mengekspresikan diri dalam menghadapi kehidupan sosial mereka. Ketika ruang-ruang publik yang ada dalam dunia nyata sulit terbentuk karena adanya dominasi kekuasaan yang mengekang, maka media sosial berupa internet ini memberikan tawaran bagi ruang publik baru. Setiap orang berhak dan bebas bersuara, mengkritik, serta berpendapat terhadap fenomena sosial di sekitarnya, termasuk juga mengkritik penguasa, karena dalam media ini adalah ruang terbuka yang menurut Pialang (2005:12) bersifat egalitarian.
Sebuah sistem demokrasi mengharuskan adanya kebebasan pers. Dengan adanya ruang bebas seperti ini, akan menjadikan media internet sebagai media kontrol terhadap kehidupan sosial-politik. Karena media merupakan salah satu pilar demokrasi, kebebasan pers merupakan pilar keempat dari demokrasi. Tentunya kebebasan pers yang disertai dengan tanggung jawab sosial. Pemanfaatan ruang publik, termasuk juga cyberspace, sangat diperlukan demi melancarkan demokratisasi. Masyarakat seharusnya bisa memanfaatkan ruang-ruang yang ada untuk berpartisipasi di dalam sistem politik. Tetapi pada kenyataannya saat ini masyarakat masih belum mampu sepenuhnya memanfaatkan ruang publik yang ada untuk terlibat dalam sistem politik.

Daftar Pustaka

Fidler, Roger. 2003, Mediamorfosis: Memahami Media Baru, (terj. oleh Hartono Hadikusumo, Mediamorfosis: Understanding New Media), Cetakan ke-1, Bentang Budaya, Yogyakarta.
Hardiman, F. Budi. 2006, ”Ruang Publik Politis: Komunikasi Politis dalam Masyarakat Majemuk”, dalam http://duniaesai.com/komunikasi/kom1.htm, yang diakses tanggal 13 April 2007, bersumber dari Kompas Cyber Media.
Ishak, Tomy. 2011, “Kaum Muda, Politik, dan Media Sosial”, artikel opini dalam  http://sosbud.kompasiana.com/kaum_muda_politik_media_sosial.html, diakses pada tanggal 21 Desember 2011.
Jatmiko, Bambang P. 2005, “Hikayat Kapital dalam Geliat Abad Informasi”, Jurnal Balairung, Edisi 38/XIX, Tahun 2005, Badan Penerbitan Pers Mahasiswa (BPPM) UGM, Yogyakarta. Halaman 24-33.
Pialang, Yasraf Amir. 2005, “Cyberspace dan Perubahan Sosial: Eksistensi, Identitas, dan Makna”, Jurnal Balairung, Edisi 38/XIX, Tahun 2005, Badan Penerbitan Pers Mahasiswa (BPPM) UGM, Yogyakarta. Halaman 6-13.