Innas Rizky Afria
Pendidikan merupakan salah satu jalan bagi perbaikan kualitas manusia, baik dari aspek intelektual, kreativitas, sampai persoalan moral. Untuk itulah berbagai upaya dilakukan untuk memperbaiki sistem pendidikan sehingga diperoleh output yang mampu menjawab berbagai persoalan bangsa ini. Perubahan sistem pendidikan, baik dari segi kurikulum maupun standar kelulusan diupayakan seperti Ujian Nasional.
Tahun ini kelulusan tingkat SMA/MA meningkat menjadi 99,50 persen dari tahun sebelumnya yang hanya 99,22 persen. Peningkatan angka kelulusan ini belum menyelesaikan berbagai polemik soal pendidikan. Standar kelulusan ini bukan mutlak menjadi parameter kecerdasan seseorang, terbukti banyak kasus siswa berprestasi yang tidak lulus UN. Ujian nasional menjadi ‘momok’ bagi siswa yang hendak mengakhiri masa belajarnya karena merupakan salah satu syarat paling penting untuk dapat melanjutkan belajar ke jenjang yang lebih tinggi. Selain hal tersebut, kelulusan juga menjadi prestise karena jika tidak lulus ujian, mereka akan dianggap bodoh oleh teman-temannya dan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, banyak oknum yang memanfaatkan situasi ini, tak ada jaminan soal-soal ujian nasional tidak bocor. Akhirnya baik dari pemerintah, pihak sekolah, maupun siswa melakukan kecurangan entah dengan cara apapun demi mendapatkan sebuah predikat “LULUS”.
Tahun ini kelulusan tingkat SMA/MA meningkat menjadi 99,50 persen dari tahun sebelumnya yang hanya 99,22 persen. Peningkatan angka kelulusan ini belum menyelesaikan berbagai polemik soal pendidikan. Standar kelulusan ini bukan mutlak menjadi parameter kecerdasan seseorang, terbukti banyak kasus siswa berprestasi yang tidak lulus UN. Ujian nasional menjadi ‘momok’ bagi siswa yang hendak mengakhiri masa belajarnya karena merupakan salah satu syarat paling penting untuk dapat melanjutkan belajar ke jenjang yang lebih tinggi. Selain hal tersebut, kelulusan juga menjadi prestise karena jika tidak lulus ujian, mereka akan dianggap bodoh oleh teman-temannya dan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, banyak oknum yang memanfaatkan situasi ini, tak ada jaminan soal-soal ujian nasional tidak bocor. Akhirnya baik dari pemerintah, pihak sekolah, maupun siswa melakukan kecurangan entah dengan cara apapun demi mendapatkan sebuah predikat “LULUS”.
Standar kelulusan melalui UN dirasa tidak adil. Di satu sisi standar nilai kelulusan disamakan bagi semua sekolah, namun di sisi lain para pemangku kebijakan seolah menutup mata terhadap kondisi pendidikan di Indonesia dan juga kondisi sekolahnya. Masih banyak fasilitas sekolah yang tidak layak dan juga tenaga pengajar tidak bermutu karena tidak sesuai dengan keahliannya. Alhasil sekolah “bermutu” hanya milik orang mampu dan sebagian besar sekolah-sekolah tersebut berada di kota-kota besar.
Dengan paradoks yang terjadi, seluruh siswa mendapat beban yang sama, yaitu harus lulus dengan standar Ujian Nasional yang sama pula. Menaikan standar nilai UN bukan solusi untuk menaikan mutu pendidikan, karena di sisi lain masih menyisakan persoalan yang telah disebutkan itu. Dengan berbagai kecurangan yang dilakukan pihak sekolah secara terencana dan terstruktur, mengindikasikan output dengan nilai sempurna bukan jaminan kualitas. Belum lagi soal pemerataan sarana dan prasarana pendidikan di banyak sekolah yang juga menyebabkan tidak meratanya transformasi ilmu yang pada akhirnya tidak maksimalnya dalam pencapaian hasil ujian nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar