selamat datang

Karena Semua Hal Perlu Dikomunikasikan :))

Sabtu, 15 Oktober 2011

Teori Uses And Gratification



Teori ini mempertimbangkan apa yang dilakukan orang pada media, yaitu menggunakan media untuk pemuas kebutuhannya. Penganut teori ini meyakini bahwa individu sebagai mahluk supra-rasional dan sangat selektif. Menurut para pendirinya, Elihu Katz;Jay G. Blumler; dan Michael Gurevitch (dalam Jalaluddin Rakhmat, 1984), uses and gratifications meneliti asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain , yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain.
Elihu Katz;Jay G. Blumler; dan Michael Gurevitch (dalam Baran dan Davis, 2000) menguraikan lima elemen atau asumsi-asumsi dasar dari Uses and Gratification Media sebagai berikut:
1. Audiens adalah aktif, dan penggunaan media berorientasi pada tujuan.
2. Inisiative yang menghubungkan antara kebutuhan kepuasan dan pilihan media spesifik terletak di tangan audiens
3. Media bersaing dengan sumber-sumber lain dalam upaya memuaskan kebutuhan audiens
4. Orang-orang mempunyai kesadaran-diri yang memadai berkenaan penggunaan media, kepentingan dan motivasinya yang menjadi bukti bagi peneliti tentang gambaran keakuratan penggunaan itu.
5. Nilai pertimbangan seputar keperluan audiens tentang media spesifik atau isi harus dibentuk.



Penerapan Teori Uses And Gratification

Situs Internet Jejaring Sosial
            Internet sebagai salah satu media komunikasi yang baru berkembang memberikan lebih banyak pilihan bagi para penggunanya, sehingga pengguna internet dapat lebih memfokuskan pencarian pada apa yang benar-benar mereka inginkan. Sehingga menjadikan Internet berkembang dengan sangat pesat.
Situs jejaring sosial (bahasa Inggris: Social network sites) merupakan sebuah web berbasis pelayanan yang memungkinkan penggunanya untuk membuat profil, melihat list pengguna yang tersedia, serta mengundang atau menerima teman untuk bergabung dalam situs tersebut.Tampilan dasar situs jejaring sosial ini menampilkan halaman profil pengguna, yang di dalamnya terdiri dari identitas diri dan foto pengguna. Situs ini memiliki aplikasi untuk membuat profil, menambah teman, dan mengirim pesan.
Saat ini internet sangat berkembang. Bukan hanya peminatnya saja, tetapi juga apa yang mereka cari dan apa yang mereka lakukan saat mengakses internet. Seperti mencari teman pada jejaring sosial, contohnya facebook, twitter, friendster, dan lain sebagainya. Selain itu, kebanyakan pengguna situs jejaring sosial adalah remaja. Karena pada saat itulah, mereka sedang mencari jati diri melalui mengumpulkan teman sebanyak-banyaknya. Namun, tidak sedikit pula orang-orang dewasa bahkan anak kecil menggunakan situs ini. Jadi situs jejaring sosial sebenarnya tidak mengenal usia.
Di Indonesia, situs jejaring sosial sangat pesat perkembangannya. Masyarakat banyak menggunakan media ini karena menurut mereka situs ini merupakan media yang dapat memenuhi kebutuhan, memberikan servis atau gratifikasi terhadap tujuan yang akan dicapai. Masyarakat secara aktif memilih media yang akan mereka pakai. Pemirsa dilihat sebagai individu aktif dan memiliki tujuan, mereka bertanggung jawab dalam pemilihan media yang akan mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka dan individu ini tahu kebutuhan mereka dan bagaimana memenuhinya. Media dianggap hanya menjadi salah satu cara pemenuhan kebutuhan dan individu bisa jadi menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan mereka. Asumsi ini merupakan asumsi dari Teori Uses and Gratification (Teori Penggunaan dan Pemenuh Kebutuhan).

Rabu, 05 Oktober 2011

Komunikasi Massa

Oleh: Innas Rizky Afria  

Keberadaan sebuah media massa pada perkembangan zaman ini juga ternyata tak hanya sebagai pemberitaan semata, bahkan telah menjadi semacam gaya hidup tersendiri. Maka tak heran jika kemudian, media massa yang juga sebagai alat komunikasi massa menjadi sasaran empuk untuk mendongkrak pencitraaan baik lembaga atau individu. Yang terjadi kemudian, dalam kasus politik, antara satu media dengan media lain kerap kali terasa menampilkan sosok politik yang sejatinya berada di belakang sebuah perusahaan media. Itu sudah menjadi rahasia umum. Namun yang perlu diperhatikan adalah, bagaimana sebenarnyateori komunikasi massa sehingga dampaknya sangat terasa sekali bagi kita yang kritis pada persoalan media yang sejatinya sangat mempengaruhi kebijakan, perilaku, serta opini publik. 

Sebagaimana dalam teori komunikasi massa dikenal istilah teori pengaruh kebiasaan, pengharapan nilai, dan juga teori ketergantungan. Komunikasi Massa (Mass Communication) adalah komunikasi yang menggunakan media massa, baik cetak (Surat Kabar, Majalah) atau elektronik (radio, televisi) yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang dilembagakan, yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar dibanyak tempat. 

Terkait pengertian komunikasi massa, maka dapat diambil kesimpulan bahwa komunikasi massa adalah komunikasi yang menggunakan media massa, baik cetak seperti surat kabar dan majalah, atau juga menggunakan media elektronik seperti halnya radio, televisi, dan internet, yang pada pergerakannya dikelola lembaga atau orang yang diinstitusikan, yang ditujukan pada banyak orang dan di banyak tempat juga. Dalam kajian ilmu komunikasi, ada beberapa teori yang membahas dan terkait dengan komunikasi massa ini, yaitu:

1. Teori Pengaruh kebiasaan/tradisi (the effect tradition)
2. Uses dan Gratifications
3. Teori Pengharapan Nilai (the expectacy-value theory)
4. Teori Ketergantungan (dependency theory).

Selasa, 04 Oktober 2011

Mengenal Kemunculan Teori Humas (Public Relations) dan Prinsip Dasarnya*

Humas kependekan dari hubungan masyarakat. Hal ini seringkali disederhanakan sebagai sebuah terjemahan dari istilah Public Relations (PR). Sebagai ilmu pengetahuan, PR masih relatif baru bagi masyarakat Indonesia. PR sendiri merupakan gabungan berbagai imu dan termasuk dalam jajaran ilmu-ilmu sosial seperti halnya ilmu politik, ekonomi, sejarah, psikologi, sosiologi, komunikasi dan lain-lain.

Dalam kurun waktu 100 tahun terakhir ini PR mengalami perkembangan yang sangat cepat.  Namun perkembangan PR dalam setiap negara itu tak sama baik bentuk maupun kualitasnya. Proses perkembangan PR lebih banyak ditentukan oleh situasi masyarakat yang kompleks.

PR merupakan pendekatan yang sangat strategis dengan menggunakan konsep-konsep komunikasi (Kasali, 2005:1). Di masa mendatang PR diperkiraan akan mengalami pertumbuhan yang luar biasa. Pemerintah AS mempekerjakan 9000 karyawan di bidang komunikasi yang ditempatkan di United States Information Agency.  

Menurut Edward L. Berneys dalam buku Public Relations menyatakan PR memiliki tiga macam arti:
  1. memberi informasi kepada masyarakat
  2. persuasi yang dimaksudkan untuk mengubah sikap dan tingkah laku masyarakat terhadap lembaga demi kepentingan kedua belah pihak
  3. usaha untuk mengintegrasikan sikap dan perbuatan antar lembaga dengan sikap perbuatan masyarakat dan sebaliknya.
Melvin Sharpe (dalam Kasali, 2005: 8-9) menyebut lima prinsip hubungan harmonis:
  1. komunikasi yang jujur untuk memperoleh kredibilitas
  2. keterbukaan dan konsistensi terhadap langkah-langkah yang diambil untuk memperoleh keyakinan orang lain
  3. langkah-langkah yang fair untuk mendapatkan hubungan timbal balik dan goodwill
  4. komunikasi dua arah yang terus menerus untuk mencegah keterasingan dan untuk membangun hubungan
  5. evaluasi dan riset terhadap lingkungan untuk menentukan langkah atau penyesuaian yang dibutuhkan masyarakat.
Sedangkan menurut Rumanti (2002), setidaknya ada empat unsur falsafah PR :
  1. PR sebagai upaya mempengaruhi kemauan individu, golongan, atau masyarakat yang menjadi sasaran dengan maksud mengubah pikiran, pendapat publik secara umum oleh pemerintah
  2. PR ditujukan untuk mendorong atau memajukan usaha-usaha bidang ekonomi. Falsafah ini dipakai oleh badan usaha ekonomi yang mencari keuntungan
  3. PR dengan menggunakan pengetahuan yang luas dan bijaksana bisa dipergunakan dalam pencapaian tujuan
  4. Misi PR yang perlu disampaikan kepada masyarakat diintegrasikan dengan kebutuhan publik.
Perkembangan Humas di Dunia
Dalam sejarahnya istilah Public Relations sebagai sebuah teknik menguat dengan adanya aktivitas yang dilakukan oleh pelopor Ivy Ledbetter Lee yang tahun 1906 berhasil menanggulangi kelumpuhan industri batu bara di Amerika Serikat dengan sukes. Atas upayanya ini ia diangkat menjadi The Father of Public Relations.

Perkembangan PR sebenarnya bisa dikaitkan dengan keberadaan manusia. Unsur-unsur memberi informasi kepada masyarakat, membujuk masyarakat, dan mengintegrasikan masyarakat, adalah landasan bagi masyarakat.

Tujuan, teknik, alat dan standar etika berubah-ubah sesuai dengan berlalunya waktu. Misalnya pada masa suku primitif mereka menggunakan kekuatan, intimidasi atau persuasi ntuk memelihara pengawasan terhadap pengikutnya. Atau menggunakan hal-hal yang bersifat magis, totem (benda-benda keramat), taboo (hal-hal bersifat tabu), dan kekuatan supranatural.

Penemuan tulisan akan membuat metode persuasi berubah. Opini publik mulai berperan. Ketika era Mesir Kuno, ulama merupakan pembentuk opini dan pengguna persuasi. Pada saat Yunani kuno mulai dikembangkan Olympiade untuk bertukar pendapat dan meningkatkan hubungan dengan rakyat. Evaluasi mengenai pendapat atau opini publik merupakan perkembangan terakhir dalam sejarah kemanusiaan.

Dasar-dasar fungsi humas ditemukan dalam revolusi Amerika. Ketika ada gerakan yang direncanakan dan dilaksanakan. Pada dasarnya, masing-masing periode perkembangan memiliki perbedaaan dalam startegi mempengaruhi publik, menciptakan opini publik demi perkembangan organisasinya.

Berikut gambaran kronologis PR di dunia:
Abad ke-19      :     PR di Amerika dan Eropa merupakan program studi yang
                                 mandiri didasarkan pada perkembangan  Ilmu
                                 pengetahuan dan teknologi.
1865-1900    :     Publik masih dianggap bodoh
1900-1918    :     Publik diberi informasi dan dilayani
1918-1945     :     Publik diberi pendidikan dan dihargai
1925               :     Di New York, PR sebagai pendidikan tinggi resmi
1928               :     Di Belanda memasuki pendidikan tinggi dan minimal di
                             fakultas sebagai mata kuliah wajib.  Disamping itu
                             banyak diadakan kursus-kursus yang bermutu
1945-1968     :     Publik mulai terbuka dan banyak mengetahui
1968               :     Di Belanda mengalami perkembangan pesat. Ke arah
                              ilmiah karena penelitian yang rutin dan kontinyu.
                              Di Amerika perkembangannya lebih ke arah bisnis.
1968-1979       :   Publik dikembangkan di berbagai bidang,
                               pendekatan tidak hanya satu aspek saja
1979-1990       :     Profesional/internasional memasuki globalisasi dalam
                                 perubahan mental dan kualitas
1990-sekarang :     a. perubahan mental, kualitas, pola pikir, pola pandang,
                                  sikap dan  pola perilaku secara nasioal/internasional
                               b. membangun kerjasama secara lokal, nasional,  internasional
                               c. saling belajar di bidang politik, ekonomi, sosial budaya,
                                  Iptek, sesuai dengan kebutuhan era global/informasi
Asal Mula Istilah
Pengertian :
  1. Hubungan dengan masyarakat luas baik melalui publisitas khususnya fungsi-fungsi organisasi dan sebagainya terkait dengan usaha menciptakan opini publik dan citra yang menyenangkan untuk dirinya sendiri (Webster’s New World Dictionary)
  2. Fungsi manajemen yang mengevaluasi sikap publik, mengidentifikasi kebijaksanan dan prosedur seorang individu atau organisasi berdasarkan kepentingan publik dan menjalankan suatu program untuk mendapatkan pengertian dan penerimaan publik (Public Relations News)
  3. Filsafat sosial dan manajemen yang dinyatakan dalam kebijaksanaan beserta pelaksaannya yang melalui interpretasi yang peka mengenai peristiwa-peristiwa berdasarkan pada komunikasi dua arah dengan publiknya, berusaha memperoleh saling pengertian dan itikad baik (Moore, 2004: 6).
Public Relations yang diterjemahkan menjadi hubungan masyarakat (humas)  mempunyai dua  pengertian.  Pertama,  humas dalam artian sebagai  teknik komunikasi  atau  technique   of communication dan kedua,  humas sebagai  metode komunikasi atau  method of communication (Abdurrahman, 1993: 10).  Konsep Public Relations sebenarnya berkenaan dengan kegiatan penciptaan pemahaman melalui pengetahuan, dan melalui kegiatan-kegiatan tersebut akan muncul perubahan yang berdampak (lihat Jefkins, 2004: 2).

Peran Humas dalam Organisasi
Dalam sebuah organisasi, public relations merupakan fungsi manajemen yang mengevaluasi perilaku publik sasarannya, mengidentifikasi kebijakan, dan program organisasi atau individual melalui kepentingan publik dan melaksanakan program atau kegiatan komunikasi yang telah direncanakan sebagai salah satu tindakan untuk membuat publik menjadi mengerti dan menerima tujuan perusahaan atau organisasi (Balan, 1995:17). Public Relations menyangkut suatu bentuk komunikasi yang berlaku untuk semua organisasi (non profit – komersial, publik- privat, pemerintah – swasta). Artinya Public Relations jauh lebih luas ketimbang pemasaran dan periklanan atau propaganda, dan telah lebih awal.

Dewasa ini, Public Relations harus berhadapan dengan fakta yang sebenarnya, terlepas dari apakah fakta itu buruk, baik, atau tanpa pengaruh yang jelas. Karena itu, staf Public Relations dituntut mampu menjadikan orang-orang lain memahami suatu pesan, demi menjaga reputasi atau citra lembaga yang diwakilinya.

Kebanyakan sarjana   dari  aliran  kritis  dalam  studi   humas  menganalisa  organisasi  dan pesan-pesan yang  ditampilkan  bukan dalam usaha untuk memperbaiki perusahaan bersangkutan. Kata lain di  pendekatan  ini peranan utama humas  dalam  sebuah organisasi adalah untuk mempertahankan organisasi melalui  usaha-usaha  pengontrolan terhadap lingkungan organisasi.

PR merupakan suatu profesi yang menghubungkan antara lembaga atau organisasi dengan publiknya yang ikut menentukan kelangsungan hidup lembaga tersebut. Karena itu PR berfungsi menumbuhkan hubungan baik antara segenap komponen, memberikan pengertian, menumbuhkan motivasi dan partisipasi. PR pada dasarnya menciptakan kerjasama berdasarkan hubungan baik dengan publik. Dalam PR dibedakan dua macam publik yang menjadi sasaran yakni publik internal dan eksternal.

Secara sederhana tugas praktisi kehumasan adalah menjadi penghubung antara lembaga publik dengan masyarakat luas, agar tercapai saling pengertian, kerjasama dan sinergi yang positif antara berbagai pihak yang ada.  Dalam konteks lembaga lembaga publik seperti pemerintah, sejatinya peran melayani dan mengembangkan dukungan publik guna mencapai tujuan organisasi-lah yang sangat penting dimainkan oleh praktisi kehumasan. Pada konteks ini, maka praktisi humas harus bisa membentuk nilai-nilai, pemahaman, sikap-sikap, sampai perilaku dari publik agar sejalan dengan kebutuhan organisasi.





Referensi :
Abdurrachman, Oemi. 1993. Dasar-dasar Public Relations. Bandung: Citra Aditya Bakti
Effendy, Onong Uchjana. 1999.  Hubungan  Masyarakat.  Suatu   Study  Komunikologis. Cetakan ke lima. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Jefkins, Frank dan Daniel Yadin. 1996. Public Relations. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga
Kasali, Rhenald. 2005. Manajemen Public Relations. Jakarta: Grafiti
Moore, Frazier. 2004. Humas, Membangun Citra dengan Komunikasi. Bandung: Rosda.


*tulisan ini dirangkum dan diambil dari berbagai sumber

Minggu, 02 Oktober 2011

Teori Akomodasi Komunikasi

Dalam proses komunikasi, pesan merupakan sekumpulan lambang komunikasi yang memiliki makna dan kegunaan dalam menyampaikan suatu ide gagasan kepada manusia lain. Pesan dirancang oleh komunikator untuk disampaikan kepada komunikan melalui saluran komunikasi tertentu. Penyandian pesan (encoding) akan disesuaikan dengan karakteristik saluran pesan yang dipilih untuk menyampaikan pesan kepada komunikan. Karena saluran komunikasi menentukan bagaimana suatu pesan dikemas. Pesan yang sampai kepada komunikan akan diterima melalui proses pemaknaan pesan (decoding).

Menurut Ritonga, (2005:20) pesan yang disampaikan kepada komunikan pada dasarnya merupakan refleksi dari persepsi atau perilaku komunikan sendiri. Komunikator dalam merancang pesan berorientasi (berpedoman) pada komunikan agar ditafsirkan sama dan diharapkan dapat mempengaruhi komunikan untuk bersikap dan berperilaku sesuai yang diharapkan komunikator.

Pesan menurut Vardiansyah, (2004:60) adalah segala sesuatu yang disampaikan komunikator pada komunikan untuk mewujudkan motif komunikasinya. Pesan pada dasarnya bersifat abstrak. untuk membuatnya konkret manusia dengan akal budinya menciptakan lambang komunikasi: mimik, gerak gerik, suara, bahasa lisan dan bahasa tulisan. Karena itu, lambang komunikasi adalah bentuk atau wujud konkret dari pesan.

Lambang komunikasi diartikan sebagai kode atau simbol, atau tanda yang digunakan komunikator untuk mengubah pesan yang abstrak menjadi konkret. Komunikan tidak akan tahu apa yang kita pikirkan dan rasakan sampai kita mewujudkan pesan dalam salah satu bentuk lambang komunikasi; mimik, gerak-gerik, suara, bahasa lisan, dan atau bahasa tulisan. (Vardiansyah, 2004:61) Sebuah pesan tidak lahir begitu saja, tapi melewati suatu proses tertentu yang -disadari atau tidak disadari oleh pembuatnya—memengaruhi corak pesan tersebut.

Pada tulisan kali ini akan sedikit diulas mengenai teori akomodasi yang dicetuskan oleh Howard Giles. Teori ini dikemukakan oleh Howard Giles dan koleganya, teori ini berkaitan dengan penyesuaian interpersonal dalam interaksi komunikasi. Hal ini didasarkan pada observasi bahwa komunikator sering kelihatan menirukan perilaku satu sama lain.

Teori akomodasi komunikasi berawal pada tahun 1973, ketika Giles pertama kali memperkenalkan pemikiran mengenai model ”mobilitas aksen” Yang didasarkan pada berbagai aksen yang dapat didengar dalam situaisi wawancara. Teori akomodasi didapatkan dari sebuah penelitian yang awalnya dilakukan dalam bidang ilmu lain, dalam hal ini psikologi sosial. (West dan Lynn Turner, 2007: 217)

Akomodasi didefinisikan sebagai kemampuan menyesuaikan, memodifikasi atau mengatur perilaku seseorang dalam responnya terhadap orang lain. Akomodasi biasanya dilakukan secara tidak sadar. Kita cenderung memiliki naskah kognitif internal yang kita gunakan ketika kita berbicara dengan orang lain. (West dan Lynn Turner, 2007: 217)

Teori akomodasi menyatakan bahwa dalam percakapan orang memiliki pilihan. Mereka mungkin menciptakan komunitas percakapan yang melibatkan penggunaan bahasa atau sistem nonverbal yang sama, mereka mungkin akan membedakan diri mereka dari orang lain, dan mereka akan berusaha terlalu keras untuk beradaptasi. Pilihan-pilihan ini akan diberi label konvergensi, divergensi, dan akomodasi berlebihan.

Proses pertama yang dhubungkan dengan teori akomodasi adalah konvergensi. Jesse Delia, Nikolas Coupland, dan Justin Coupland dalam West dan Lynn Turner (2007:222) mendefinisikan konvergensi sebagai ”strategi dimana individu beradaptasi terhadap perilaku komunikatif satu sama lain”. Orang akan beradaptasi terhadap kecepatan bicara, jeda, senyuman, tatapan mata, perilaku verbal dan nonverbal lainnya. Ketika orang melakukan konvergensi, mereka bergantung pada persepsi mereka mengenai tuturan atau perilaku orang lainnya. Selain persepsi mengenai komunikasi orang lain, konvergensi juga didasarkan pada ketertarikan. Biasanya, ketika para komunikator saling tertarik, mereka akan melakukan konvergensi dalam percakapan.

Proses kedua yang dihubungkan dengan teori akomodasi adalah divergensi yaitu strategi yang digunakan untuk menonjolkan perbedaan verbal dan nonverbal di antara para komunikator. Divergensi terjadi ketika tidak terdapat usaha untuk menunjukkan persamaan antara para pembicara.

Terdapat beberapa alasan mengapa orang melakukan divergensi, pertama untuk mempertahankan identitas sosial. Contoh, individu mungkin tidak ingin melakukan konvergensi dalam rangka mempertahankan warisan budaya mereka. Contoh, ketika kita sedang bepergian ke Paris, kita tidak mungkin mengharapkan orang Prancis agar melakukan konvergensi terhadap bahasa kita. Alasan kedua mengapa orang lain melakukan divergensi adalah berkaitan dengan kekuasaan dan perbedaan peranan dalam percakapan. Divergensi seringkali terjadi dalam percakapan ketika terdapat perbedaan peranan yang jelas dalam percakapan (dokter-pasien, orangtua-anak, pewawancara-terwawancara, dan seterusnya. Terakhir, divergensi cenderung terjadi karena lawan bicara dalam percakapan dipandang sebagai anggota dari kelompok yang tidak diinginkan, dianggap memiliki sikap-sikap yang tidak menyenangkan, atau menunjukkan penampilan yang jelek.

Proses ketiga yang dapat dihubungkan dengan teori akomodasi adalah Akomodasi Berlebihan : Miskomunikasi dengan tujuan. Jane Zuengler (1991) dan West dan Lynn Turner (2007: 227) mengamati bahwa akomodasi berlebihan adalah ”label yang diberikan kepada pembicara yang dianggap pendengar terlalu berlebihan.” istilah ini diberikan kepada orang yang walaupun bertindak berdasarkan pada niat baik, malah dianggap merendahkan.

Interaksionisme Simbolik*

oleh: bambang wibiono

Persoalan mengenai kehidupan sosial manusia pada hakikatnya tidak dapat diabaikan dari sebuah jalinan interaksi sosial yang menopangnya. Bagaimanapun, sebuah kehidupan sosial atau sebuah masyarakat terbentuk dan terpelihara, sesungguhnya menyiratkan kerja-kerja individual manusia yang secara sosial terlibat dalam proses pembentukan realitas di luar dirinya.
Individu-individu yang beranekaragam dalam melakukan aktivitas secara kolektif (sosial), tentunya meniscayakan adanya pertukaran simbol. Sementara simbol itu sendiri sarat dengan muatan makna. Oleh karena itu, setiap individu pada dasarnya senantiasa melakukan proses pendefinisian situasi, menafsirkan realitas di luar dirinya yang penuh dengan simbol.
Berbicara mengenai simbol dalam dunia sosial kemasyarakatan, maka struktur sosial dilihat sebagai hasil produksi interaksi bersama yang tercipta mengenai simbol-simbol yang berupa bahasa, isyarat, dan penggunaan simbol lainnya. Tetapi dari kondisi yang ada menunjukkan bahwa wacana tentang ralitas kehidupan sehari-hari manusia sebagai mahluk perorangan atau individu bersifat kreatif-dinamis yang menciptakan dunianya sendiri. Konsep “diri” kurang dianggap sebagai bentuk kajian yang serius. Padahal dengan berusaha mengkaji persoalan seputar kehidupan sehari-hari merupakan salah satu cara untuk mendatangkan manfaat bagi kehidupan berasama, karena pada dasarnya kita tidak mungkin dapat hidup seorang diri, dan pasti memerlukan orang lain untuk mempertahankan hidup. Salah satunya yaitu dengan berusaha mengerti tentang siapa diri kita dan bagaimana seharusnya kita membawa diri ke masyarakat.
Ketika manusia lahir, ia tidak pernah sadar dan mengerti tentang siapa dirinya yang sesungguhnya karena masih kurang pemaknaan dan pemahaman terhadap realitas sosial. Manusia melakukan proses belajar melalui penggunaan simbol yang kemudian membentuk konsepsi “diri” mereka masing-masing. Melalui penggunaan simbol-simbol itu, manusia dapat melakukan perubahan-perubahan sosial bersama individu-individu lain, dapat menyesuaikan diri dengan yang lain, mempunyai kesamaan berfikir dalam mencapai tujuan bersama. Menurut Musgrove, manusia jarang sekali menyadari bahwa sebagian dari mereka atau mungkin keseluruhan dari kita telah mengalami proses perubahan kesadaran[1].
Perspektif interaksional menekankan tindakan yang bersifat simbolis dalam proses komunikasi manusia. Titik beratnya pada tindakan yang memungkinkan pengambilan peran (role taking) untuk mengembangkan tindakan bersama atau mempersatukan tindakan individu dengan tindakan individu-individu yang lain untuk membentuk kolektivitas. Tindakan bersama dari kolektivitas itu mencerminkan tidak hanya pengelompokan sosial, akan tetapi juga adanya persaan kebersamaan ataupun keadaan timbal balik dari individu-individu yang bersangkutan.
Untuk dapat berinteraksi dan dapat mengambil peran orang lain, seseorang perlu mempunyai informasi mengenai orang yang berada di hadapannya. Manakala ia asing bagi kita karena kita tidak memiliki informasi mengenai riwayat hidupnya (biographical stranger) dan atau tidak tahu kebudayaannya (cultural stranger), maka interaksi sukar dilakukan.
Perspektif interaksionisme simbolik bersumber pada pemikiran George Herbert Mead (1863–1931), selain itu juga dikenal nama Charles Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata[2]. Sosiolog yang dikenal dalam perspektif interaksionisme simbolik kontemporer lainnya adalah Herbert Blumer (1962) dan Erving Goffman (1959).
Dari kata interaksionisme sudah nampak bahwa sasaran pendekatan ini adalah interaksi sosial. Kata simbolik mengacu pada penggunaan simbol-simbol dalam interaksi[3]. Yang dimaksud simbol di sini menurut Leslie White adalah sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang mempergunakannya. Menurutnya, makna atau nilai tersebut tidak berasal dari atau ditentukan oleh sifat-sifat yang secara intrinsik terdapat dalam bentuk fisik atau objeknya, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa[4]. Menurut White, makna suatu simbol hanya dapat ditangkap melalui cara nonsensoris, yaitu melalui cara simbolik[5].
Sesuai dengan pemikiran-pemikiran Mead[6], definisi singkat dari tiga ide dasar dari interaksi simbolik adalah :
1. Mind (pikiran) - kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain.
2. Self (diri pribadi) - kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya.
3. Society (masyarakat) - hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu di tengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.
Dari penjelasan di atas, pada dasarnya interaksi simbolik didasarkan pada premis-premis berikut[7]: Pertama, individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) berdasarkan makana yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Ketika mereka menghadapi suatu situasi, respon mereka tidak bersifat mekanis, tidak pula ditentukan oleh faktor-faktor eksternal, tetapi bergantung pada bagaimana mereka mendefinisikan situasi yang dihadapi dalam interaksi sosial. Dalam hal ini inidividu dipandang aktif untuk menentukan lingkungan mereka sendiri.
Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, dan karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan karena manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya objek fisik, tindakan atau peristiwa (bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan, atau peristiwa itu), namun juga gagasan yang abstrak. Akan tetapi, nama atau simbol yang digunakan untuk menandai objek, tindakan, peristiwa atau gagasan itu bersifat arbitrer (sembarang).
Ketiga, makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Perubahan situasi dimungkinkan karena individu dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Manusia dapat membayangkan atau merencanakan apa yang akan dilakuakan bahkan mengantisipasi reaksi orang lain, mencari alternatif ucapan atau tindakan yang akan ia lakukan.
Terkait dengan penelitian ini, persoalan kekuasaan, terlebih lagi kekuasaan yang bersifat tradisional, pada dasarnya memuat proses pertukaran simbol antar manusia yang terjadi melalui interaksi. Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial, begitu juga politik pada dasarnya adalah interaksi antar manusia atau dengan lingkungannya menggunakan simbol-simbol. Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan dari penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial[8]. Oleh karena itu, dalam konteks politik, berdasarkan pemahaman dan penafsiran atas simbol yang diterimanya, kekuasaan dapat berjalan dan diterima dalam proses-proses sosial dan interaksi. Ini termanifestasikan dalam tindakan seseorang terhadap orang lain yang dianggap memiliki kuasa dan pengaruh.
Hal yang perlu diperhatikan dalam interaksi simbolik adalah mengenai aturan yang mengatur interaksi. Menurut David A. Karp dan W.C Yoels menyebutkan tiga jenis aturan, yaitu aturan mengenai ruang, waktu, dan mengenai gerak dan sikap tubuh[9].
Dalam interaksi dijimpai aturan tertentu dalam penggunaan ruang, dalam hal ini ruang yang dimaksud adalah jarak dimana interaksi itu berlangsung. Kondisi ini juga berlaku juga dengan waktu, karena interkasi akan bermakna berbeda pada waktu yang berbeda pula.
Dalam interaksi, sikap, gerak tubuh, atau gestur membantu memberikan makna terhadap simbol yang disampaikan, tidak hanya melalui ucapan saja. Interaksi tidak hanya memperhatikan apa yang dikatakan orang lain, tetapi juga apa yang dilakukannya. Komunikasi nonverbal ini kita gunakan secara sadar maupun tidak untuk menyampaikan perasaan kita kepada orang lain.
Kalau perbuatan hanya melibatkan satu orang, sedangkan perbuatan sosial melibatkan dua orang atau lebih. Menurut pandangan Mead, gestur merupakan mekanisme dasar dalam perbuatan sosial dan dalam proses sosial pada umumnya.


[1] Dalam Mulyana, Dedy. 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Cetakan ke-5, PT Remaja Rosda Karya, Bandung. Hal.: 229.
[2] Soeprapto, Riyadi. 2000, Interaksionisme Simbolik: Perspektif Sosiologi Modern, Averroes Press, Malang dan Pustaka Penajar, Yogyakarta.
[3] Sunarto, Kamanto. 2000, Pengantar Sosiologi, Edisi Kedua, lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, Jakarta. Hal.: 38.
[4] Mulyana, Dedy. 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Cetakan ke-5, PT Remaja Rosda Karya, Bandung. Hal.: 72.
[5] Sunarto, Loc. Cit.
[6] Lihat dalam Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2010, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Cetakan ke-4 (Terj. Nurhadi, Sosiological Theory), Kreasi Wacana, Yogyakarta, hal. 385-392.
.
[7] Mulyana, Op. Cit. hal 71-72.
[8] Ibid. hal 71
[9] Sunarto, Op. Cit. hal 39-40.



tulisan ini duambil dari http://duniapolitiku.blogspot.com/2010/10/sekelumit-tentang-interaksionisme.html