selamat datang

Karena Semua Hal Perlu Dikomunikasikan :))

Senin, 28 November 2011

FEMINISME RADIKAL


Feminisme radikal lahir dari aktivitas dan analis politik mengenai hak-hak sipil dan gerakan perubahan sosial pada tahun 1950an dan 1960an, serta gerakan-gerakan wanita yang ramai sekitar tahun 60 dan 70an. Mahzab ini dapat dilacak melalui para pendukungnya. Lewat karya Vindication of the Rights of Women, Mary Wollstonecraft pada tahun 1797 menganjurkan kemandirian wanita dalam bidang ekonomi. Maria Stewart, salah satu feminis kulit hitamn pertama pada tahun 1830an mengusulkan penguatan relasi di antara wanita kulit hitam. Elizabeth Cuddy Stanton pada tahun 1880an menentang hak-hak seksual laki-laki terhadap wanita dan menyerang justifikasi keagamaan yang menindas wanita. (dalam Suharto, 2006).

Feminis radikal juga dikembangkan dari gerakan kiri baru (new left) yang menyatakan bahwa perasaan-perasaan keterasingan dan ketidakberdayaan pada dasarnya diciptakan secara politik dan karenanya transformasi personal melalui aksi-aksi radikal merupakan cara dan tujuan yang paling baik. Mazhab ini secara fundamental menolak agenda feminisme liberal mengenai kesamaan hak wanita. Berseberangan dengan feminis liberal yang menekankan kesamaan antara wanita dan laki-laki, feminis radikal menekankan pada perbedaan antara wanita dan laki-laki.

Menurut Suharto, inti ajaran feminis radikal adalah sebagai berikut:
a.    The personal is political adalah slogan yang sering digunakan oleh feminis radikal. Maknanya bahwa pengalaman-pengalaman individual wanita mengenai ketidakadilan dan kesengsaraan yang oleh para wanita dianggap sebagai masalah personal, pada hakekatnya adalah isu-isu politik yang berakar pada ketidakseimbangan kekuasaan antara wanita dan laki-laki.
b.    Memprotes eksploitasi wanita dan pelaksanaan peran sebagai istri, ibu, dan pasangan sex laki-laki, serta menganggap perkawinan sebagai bentuk formalisasi pendiskriminasian terhadap wanita.
c.    Menggambarkan sexisme sebagai sistem sosial yang terdiri dari hukum, tradisi, ekonomi, pendidikan, lembaga keagamaan, ilmu pengetahuan, bahasa, media massa, moralitas seksual, perawatan anak, pembagian kerja, dan interaksi sosial sehari-hari. Agenda tersembunyi dari sistem sosial itu adalah memeberikan kekuasaan laki-laki melebihi wanita.
d.    Masyarakat harus diubah secara menyeluruh. Lembaga-lembaga sosial yang paling fundamental harus diubah secara fundamental pula. Para feminis radikal menolak perkawinan bukan hanya dalam teori, melainkan sering pula dalam praktek.
e.    menolak sistem hirarkis yang berstrata berdasarkan garis gender dan kelas, sebagaimana diterima oleh feminis liberal.

Feminis radikal pada dasarnya mempunyai 3 pokok pikiran sebagai berikut:
1.    Bahwa perempuan mengalami penindasan, dan yang menindas adalah laki-laki. Kekuasaan laki-laki ini harus dikenali dan dimengerti, dan tidak boleh direduksi menjadi kekuasaan kapitalis, misalnya.
2.    Bahwa perbedaan gender yang sering disebut maskulin dan feminin sepenuhnya adalah konstruksi sosial atau diciptakan oleh masyarakat, sebenarnya tidak atas dasar perbedaan alami perempuan dan laki-laki. Maka yang diperlukan adalah penghapusan peran perempuan dan laki-laki yang diciptakan oleh masyarakat di atas tadi.
3.    Bahwa penindasan oleh laki-laki adalah yang paling utama dari seluruh bentuk penindasan lainnya, di mana hal ini menjadi suatu pola penindasan.

Pemikiran ini berkembang dan feminis radikal adalah aliran yang paling dekat ke munculnya feminis lesbian dan yang mengajukan kritik terhadap heteroseksual sebagai orientasi yang diharuskan atau disebut sebagai normal. Selanjutnya pemikiran ini berpendapat bahwa wanita boleh tidak bersuami, boleh tidak mengandung dan menyusui. bahkan pemikiran lain menyatakan, adanya sekulerisme. Oleh karena itu lah slogan yang sering didengungkan dari feminisme radikal adalah “hak untuk memilih”.

Dalam feminisme radikal ada beberapa aliran lagi di antaranya feminisme radikal libertarian. Salah satu dari feminis radikal libertarian yang pertama bersikeras menyatakan bahwa akar tekanan dan penindasan terhadap perempuan sudah terkubur dalam di dalam sistem seks/gender di dalam patriarki adalah Kate Millett. Millet berpendapat dalam bukunya Sexual Politics (1970), bahwa seks adalah politis, terutama karena hubungan laki-laki dan perempuan merupakan paradigma dari semua hubungan kekuasaan. Ideologi patriarki, menurut Millett, membesar-besarkan perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki selalu mempunyai peran yang dominan dari pada perempuan.

Seperti Millet, Shulamith Firestone dalam karyanya Dialectic of Sex, mengklaim bahwa dasar material ideologi seksual/politik dari submisi perempuan dan dominasi laki-laki berakar pada peran reproduksi laki-laki dan perempuan. Menurut Firestone dibutuhkan lebih dari revolusi biologis dan sosial, untuk menghasilkan jenis pembebasan manusia yaitu reproduksi buatan (ex utero) akan harus menggantikan reproduksi alami (in Utero).

Firestone bersikeras bahwa tidak akan ada perubahan fundamental bagi perempuan selama reproduksi alamiah tetap menjadi keharusan. Menurutnya, reproduksi alamiah adalah akar dari kejahatan, terutama kejahatan yang muncul dari rasa memiliki, yang menghasilkan rasa kebencian dan kecemburuan di antara manusia.

Feminisme radikal libertarian menolak asumsi bahwa ada hubungan yang pasti antara jenis kelamin seseorang dengan gender seseorang. Mereka mengklaim bahwa gender adalah terpisah dari jenis kelamin dan masyarakat patriakal menggunakan peran gender yang kaku, untuk memastikan bahwa perempuan tetap pasif. Karena itu, cara bagi perempuan untuk menghancurkan kekuasaan laki-laki yang tidak layak atas perempuan adalah dengan pertama-tama menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan utnuk menjadi pasif, seperti juga laki-laki tidak ditakdirkan untuk menjadi aktif. Feminisme radikal libertarian yakin bahwa semakin sedikit perempuan terlibat di dalam proses reproduksi, semakin banyak waktu dan tenaga yang dapat digunakan untuk terlibat di dalam proses produktif masyarakat.

Aliran lain dari feminisme radikal adalah feminisme radikal kultural. Marilyn French berpendapat bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan lebih kepada biologi daripada kepada sosialisasi. Dalam bukunya Beyond Power, French mengisyaratkan bahwa sifat tradisional perempuan lebih baik daripada sifat tradisional laki-laki. Stratifikasi laki-laki yang di atas perempuan pada gilirannya mengarahkan kepada stratifikasi kelas. French mengklaim, bahwa nilai-nilai feminim harus direintegrasikan ke dalam masyarakat laki-laki yang telah diciptakan oleh ideologi patriakal.

Mary Daly, merendahkan nilai-nilai maskulin tradisional. Dalam bukunya Beyond God The Father, Mary Daly menolak istilah maskulin dan feminin secara keseluruhan, sebagai produk kebingungan patriarki. Daly menyimpulkan bahwa perempuan harus menolak apa yang tampaknya merupakan aspek “baik” dari feminitas, dan juga menolak aspek yang sudah jelas-jelas “buruk” karena kesemua itu merupakan “konstruksi yang dibuat laki-laki”, yang dibentuk untuk kepentingan menjebak perempuan di dalam penjara patriarki yang dalam.

Lahirnya gerakan feminisme melahirkan bermacam teori feminisme, diantaranya teori feminisme radikal. Teori ini berkembang pesat di Amerika Serikat pada kurun waktu 1960-an dan 1970-an. Meskipun teori ini hampir sama dengan teori feminisme Marxis-sosialis, teori ini lebih memfokuskan serangannya pada keberadaan institusi keluarga dan sistem patriarki. Keluarga dianggapnya sebagai institusi yang melegitimasi dominasi laki-laki (patriarki), sehingga perempuan tertindas. Feminisme ini cenderung membenci laki-laki sebagai individu dan mengajak perempuan untuk mandiri, bahkan tanpa perlu keberadaan laki-laki dalam kehidupan perempuan. Elsa Gidlow mengemukakan teori bahwa menjadi lesbian adalah telah terbebas dari dominasi laki-laki, baik internal maupun eksternal. Martha Shelley selanjutnya memperkuat bahwa perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai perempuan mandiri (Ratna Megawangi, 1999: 226).

Karena keradikalannya, teori ini mendapat kritikan yang tajam, bukan saja dari kalangan sosiolog, tetapi juga dari kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis liberal tidak setuju sepenuhnya dengan teori ini. Persamaan total antara laki-laki dan perempuan pada akhirnya akan merugikan perempuan sendiri. Laki-laki yang tidak terbebani oleh masalah reproduksi akan sulit diimbangi oleh perempuan yang tidak bisa lepas dari beban ini.

Sabtu, 15 Oktober 2011

Teori Uses And Gratification



Teori ini mempertimbangkan apa yang dilakukan orang pada media, yaitu menggunakan media untuk pemuas kebutuhannya. Penganut teori ini meyakini bahwa individu sebagai mahluk supra-rasional dan sangat selektif. Menurut para pendirinya, Elihu Katz;Jay G. Blumler; dan Michael Gurevitch (dalam Jalaluddin Rakhmat, 1984), uses and gratifications meneliti asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain , yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain.
Elihu Katz;Jay G. Blumler; dan Michael Gurevitch (dalam Baran dan Davis, 2000) menguraikan lima elemen atau asumsi-asumsi dasar dari Uses and Gratification Media sebagai berikut:
1. Audiens adalah aktif, dan penggunaan media berorientasi pada tujuan.
2. Inisiative yang menghubungkan antara kebutuhan kepuasan dan pilihan media spesifik terletak di tangan audiens
3. Media bersaing dengan sumber-sumber lain dalam upaya memuaskan kebutuhan audiens
4. Orang-orang mempunyai kesadaran-diri yang memadai berkenaan penggunaan media, kepentingan dan motivasinya yang menjadi bukti bagi peneliti tentang gambaran keakuratan penggunaan itu.
5. Nilai pertimbangan seputar keperluan audiens tentang media spesifik atau isi harus dibentuk.



Penerapan Teori Uses And Gratification

Situs Internet Jejaring Sosial
            Internet sebagai salah satu media komunikasi yang baru berkembang memberikan lebih banyak pilihan bagi para penggunanya, sehingga pengguna internet dapat lebih memfokuskan pencarian pada apa yang benar-benar mereka inginkan. Sehingga menjadikan Internet berkembang dengan sangat pesat.
Situs jejaring sosial (bahasa Inggris: Social network sites) merupakan sebuah web berbasis pelayanan yang memungkinkan penggunanya untuk membuat profil, melihat list pengguna yang tersedia, serta mengundang atau menerima teman untuk bergabung dalam situs tersebut.Tampilan dasar situs jejaring sosial ini menampilkan halaman profil pengguna, yang di dalamnya terdiri dari identitas diri dan foto pengguna. Situs ini memiliki aplikasi untuk membuat profil, menambah teman, dan mengirim pesan.
Saat ini internet sangat berkembang. Bukan hanya peminatnya saja, tetapi juga apa yang mereka cari dan apa yang mereka lakukan saat mengakses internet. Seperti mencari teman pada jejaring sosial, contohnya facebook, twitter, friendster, dan lain sebagainya. Selain itu, kebanyakan pengguna situs jejaring sosial adalah remaja. Karena pada saat itulah, mereka sedang mencari jati diri melalui mengumpulkan teman sebanyak-banyaknya. Namun, tidak sedikit pula orang-orang dewasa bahkan anak kecil menggunakan situs ini. Jadi situs jejaring sosial sebenarnya tidak mengenal usia.
Di Indonesia, situs jejaring sosial sangat pesat perkembangannya. Masyarakat banyak menggunakan media ini karena menurut mereka situs ini merupakan media yang dapat memenuhi kebutuhan, memberikan servis atau gratifikasi terhadap tujuan yang akan dicapai. Masyarakat secara aktif memilih media yang akan mereka pakai. Pemirsa dilihat sebagai individu aktif dan memiliki tujuan, mereka bertanggung jawab dalam pemilihan media yang akan mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka dan individu ini tahu kebutuhan mereka dan bagaimana memenuhinya. Media dianggap hanya menjadi salah satu cara pemenuhan kebutuhan dan individu bisa jadi menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan mereka. Asumsi ini merupakan asumsi dari Teori Uses and Gratification (Teori Penggunaan dan Pemenuh Kebutuhan).

Rabu, 05 Oktober 2011

Komunikasi Massa

Oleh: Innas Rizky Afria  

Keberadaan sebuah media massa pada perkembangan zaman ini juga ternyata tak hanya sebagai pemberitaan semata, bahkan telah menjadi semacam gaya hidup tersendiri. Maka tak heran jika kemudian, media massa yang juga sebagai alat komunikasi massa menjadi sasaran empuk untuk mendongkrak pencitraaan baik lembaga atau individu. Yang terjadi kemudian, dalam kasus politik, antara satu media dengan media lain kerap kali terasa menampilkan sosok politik yang sejatinya berada di belakang sebuah perusahaan media. Itu sudah menjadi rahasia umum. Namun yang perlu diperhatikan adalah, bagaimana sebenarnyateori komunikasi massa sehingga dampaknya sangat terasa sekali bagi kita yang kritis pada persoalan media yang sejatinya sangat mempengaruhi kebijakan, perilaku, serta opini publik. 

Sebagaimana dalam teori komunikasi massa dikenal istilah teori pengaruh kebiasaan, pengharapan nilai, dan juga teori ketergantungan. Komunikasi Massa (Mass Communication) adalah komunikasi yang menggunakan media massa, baik cetak (Surat Kabar, Majalah) atau elektronik (radio, televisi) yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang dilembagakan, yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar dibanyak tempat. 

Terkait pengertian komunikasi massa, maka dapat diambil kesimpulan bahwa komunikasi massa adalah komunikasi yang menggunakan media massa, baik cetak seperti surat kabar dan majalah, atau juga menggunakan media elektronik seperti halnya radio, televisi, dan internet, yang pada pergerakannya dikelola lembaga atau orang yang diinstitusikan, yang ditujukan pada banyak orang dan di banyak tempat juga. Dalam kajian ilmu komunikasi, ada beberapa teori yang membahas dan terkait dengan komunikasi massa ini, yaitu:

1. Teori Pengaruh kebiasaan/tradisi (the effect tradition)
2. Uses dan Gratifications
3. Teori Pengharapan Nilai (the expectacy-value theory)
4. Teori Ketergantungan (dependency theory).

Selasa, 04 Oktober 2011

Mengenal Kemunculan Teori Humas (Public Relations) dan Prinsip Dasarnya*

Humas kependekan dari hubungan masyarakat. Hal ini seringkali disederhanakan sebagai sebuah terjemahan dari istilah Public Relations (PR). Sebagai ilmu pengetahuan, PR masih relatif baru bagi masyarakat Indonesia. PR sendiri merupakan gabungan berbagai imu dan termasuk dalam jajaran ilmu-ilmu sosial seperti halnya ilmu politik, ekonomi, sejarah, psikologi, sosiologi, komunikasi dan lain-lain.

Dalam kurun waktu 100 tahun terakhir ini PR mengalami perkembangan yang sangat cepat.  Namun perkembangan PR dalam setiap negara itu tak sama baik bentuk maupun kualitasnya. Proses perkembangan PR lebih banyak ditentukan oleh situasi masyarakat yang kompleks.

PR merupakan pendekatan yang sangat strategis dengan menggunakan konsep-konsep komunikasi (Kasali, 2005:1). Di masa mendatang PR diperkiraan akan mengalami pertumbuhan yang luar biasa. Pemerintah AS mempekerjakan 9000 karyawan di bidang komunikasi yang ditempatkan di United States Information Agency.  

Menurut Edward L. Berneys dalam buku Public Relations menyatakan PR memiliki tiga macam arti:
  1. memberi informasi kepada masyarakat
  2. persuasi yang dimaksudkan untuk mengubah sikap dan tingkah laku masyarakat terhadap lembaga demi kepentingan kedua belah pihak
  3. usaha untuk mengintegrasikan sikap dan perbuatan antar lembaga dengan sikap perbuatan masyarakat dan sebaliknya.
Melvin Sharpe (dalam Kasali, 2005: 8-9) menyebut lima prinsip hubungan harmonis:
  1. komunikasi yang jujur untuk memperoleh kredibilitas
  2. keterbukaan dan konsistensi terhadap langkah-langkah yang diambil untuk memperoleh keyakinan orang lain
  3. langkah-langkah yang fair untuk mendapatkan hubungan timbal balik dan goodwill
  4. komunikasi dua arah yang terus menerus untuk mencegah keterasingan dan untuk membangun hubungan
  5. evaluasi dan riset terhadap lingkungan untuk menentukan langkah atau penyesuaian yang dibutuhkan masyarakat.
Sedangkan menurut Rumanti (2002), setidaknya ada empat unsur falsafah PR :
  1. PR sebagai upaya mempengaruhi kemauan individu, golongan, atau masyarakat yang menjadi sasaran dengan maksud mengubah pikiran, pendapat publik secara umum oleh pemerintah
  2. PR ditujukan untuk mendorong atau memajukan usaha-usaha bidang ekonomi. Falsafah ini dipakai oleh badan usaha ekonomi yang mencari keuntungan
  3. PR dengan menggunakan pengetahuan yang luas dan bijaksana bisa dipergunakan dalam pencapaian tujuan
  4. Misi PR yang perlu disampaikan kepada masyarakat diintegrasikan dengan kebutuhan publik.
Perkembangan Humas di Dunia
Dalam sejarahnya istilah Public Relations sebagai sebuah teknik menguat dengan adanya aktivitas yang dilakukan oleh pelopor Ivy Ledbetter Lee yang tahun 1906 berhasil menanggulangi kelumpuhan industri batu bara di Amerika Serikat dengan sukes. Atas upayanya ini ia diangkat menjadi The Father of Public Relations.

Perkembangan PR sebenarnya bisa dikaitkan dengan keberadaan manusia. Unsur-unsur memberi informasi kepada masyarakat, membujuk masyarakat, dan mengintegrasikan masyarakat, adalah landasan bagi masyarakat.

Tujuan, teknik, alat dan standar etika berubah-ubah sesuai dengan berlalunya waktu. Misalnya pada masa suku primitif mereka menggunakan kekuatan, intimidasi atau persuasi ntuk memelihara pengawasan terhadap pengikutnya. Atau menggunakan hal-hal yang bersifat magis, totem (benda-benda keramat), taboo (hal-hal bersifat tabu), dan kekuatan supranatural.

Penemuan tulisan akan membuat metode persuasi berubah. Opini publik mulai berperan. Ketika era Mesir Kuno, ulama merupakan pembentuk opini dan pengguna persuasi. Pada saat Yunani kuno mulai dikembangkan Olympiade untuk bertukar pendapat dan meningkatkan hubungan dengan rakyat. Evaluasi mengenai pendapat atau opini publik merupakan perkembangan terakhir dalam sejarah kemanusiaan.

Dasar-dasar fungsi humas ditemukan dalam revolusi Amerika. Ketika ada gerakan yang direncanakan dan dilaksanakan. Pada dasarnya, masing-masing periode perkembangan memiliki perbedaaan dalam startegi mempengaruhi publik, menciptakan opini publik demi perkembangan organisasinya.

Berikut gambaran kronologis PR di dunia:
Abad ke-19      :     PR di Amerika dan Eropa merupakan program studi yang
                                 mandiri didasarkan pada perkembangan  Ilmu
                                 pengetahuan dan teknologi.
1865-1900    :     Publik masih dianggap bodoh
1900-1918    :     Publik diberi informasi dan dilayani
1918-1945     :     Publik diberi pendidikan dan dihargai
1925               :     Di New York, PR sebagai pendidikan tinggi resmi
1928               :     Di Belanda memasuki pendidikan tinggi dan minimal di
                             fakultas sebagai mata kuliah wajib.  Disamping itu
                             banyak diadakan kursus-kursus yang bermutu
1945-1968     :     Publik mulai terbuka dan banyak mengetahui
1968               :     Di Belanda mengalami perkembangan pesat. Ke arah
                              ilmiah karena penelitian yang rutin dan kontinyu.
                              Di Amerika perkembangannya lebih ke arah bisnis.
1968-1979       :   Publik dikembangkan di berbagai bidang,
                               pendekatan tidak hanya satu aspek saja
1979-1990       :     Profesional/internasional memasuki globalisasi dalam
                                 perubahan mental dan kualitas
1990-sekarang :     a. perubahan mental, kualitas, pola pikir, pola pandang,
                                  sikap dan  pola perilaku secara nasioal/internasional
                               b. membangun kerjasama secara lokal, nasional,  internasional
                               c. saling belajar di bidang politik, ekonomi, sosial budaya,
                                  Iptek, sesuai dengan kebutuhan era global/informasi
Asal Mula Istilah
Pengertian :
  1. Hubungan dengan masyarakat luas baik melalui publisitas khususnya fungsi-fungsi organisasi dan sebagainya terkait dengan usaha menciptakan opini publik dan citra yang menyenangkan untuk dirinya sendiri (Webster’s New World Dictionary)
  2. Fungsi manajemen yang mengevaluasi sikap publik, mengidentifikasi kebijaksanan dan prosedur seorang individu atau organisasi berdasarkan kepentingan publik dan menjalankan suatu program untuk mendapatkan pengertian dan penerimaan publik (Public Relations News)
  3. Filsafat sosial dan manajemen yang dinyatakan dalam kebijaksanaan beserta pelaksaannya yang melalui interpretasi yang peka mengenai peristiwa-peristiwa berdasarkan pada komunikasi dua arah dengan publiknya, berusaha memperoleh saling pengertian dan itikad baik (Moore, 2004: 6).
Public Relations yang diterjemahkan menjadi hubungan masyarakat (humas)  mempunyai dua  pengertian.  Pertama,  humas dalam artian sebagai  teknik komunikasi  atau  technique   of communication dan kedua,  humas sebagai  metode komunikasi atau  method of communication (Abdurrahman, 1993: 10).  Konsep Public Relations sebenarnya berkenaan dengan kegiatan penciptaan pemahaman melalui pengetahuan, dan melalui kegiatan-kegiatan tersebut akan muncul perubahan yang berdampak (lihat Jefkins, 2004: 2).

Peran Humas dalam Organisasi
Dalam sebuah organisasi, public relations merupakan fungsi manajemen yang mengevaluasi perilaku publik sasarannya, mengidentifikasi kebijakan, dan program organisasi atau individual melalui kepentingan publik dan melaksanakan program atau kegiatan komunikasi yang telah direncanakan sebagai salah satu tindakan untuk membuat publik menjadi mengerti dan menerima tujuan perusahaan atau organisasi (Balan, 1995:17). Public Relations menyangkut suatu bentuk komunikasi yang berlaku untuk semua organisasi (non profit – komersial, publik- privat, pemerintah – swasta). Artinya Public Relations jauh lebih luas ketimbang pemasaran dan periklanan atau propaganda, dan telah lebih awal.

Dewasa ini, Public Relations harus berhadapan dengan fakta yang sebenarnya, terlepas dari apakah fakta itu buruk, baik, atau tanpa pengaruh yang jelas. Karena itu, staf Public Relations dituntut mampu menjadikan orang-orang lain memahami suatu pesan, demi menjaga reputasi atau citra lembaga yang diwakilinya.

Kebanyakan sarjana   dari  aliran  kritis  dalam  studi   humas  menganalisa  organisasi  dan pesan-pesan yang  ditampilkan  bukan dalam usaha untuk memperbaiki perusahaan bersangkutan. Kata lain di  pendekatan  ini peranan utama humas  dalam  sebuah organisasi adalah untuk mempertahankan organisasi melalui  usaha-usaha  pengontrolan terhadap lingkungan organisasi.

PR merupakan suatu profesi yang menghubungkan antara lembaga atau organisasi dengan publiknya yang ikut menentukan kelangsungan hidup lembaga tersebut. Karena itu PR berfungsi menumbuhkan hubungan baik antara segenap komponen, memberikan pengertian, menumbuhkan motivasi dan partisipasi. PR pada dasarnya menciptakan kerjasama berdasarkan hubungan baik dengan publik. Dalam PR dibedakan dua macam publik yang menjadi sasaran yakni publik internal dan eksternal.

Secara sederhana tugas praktisi kehumasan adalah menjadi penghubung antara lembaga publik dengan masyarakat luas, agar tercapai saling pengertian, kerjasama dan sinergi yang positif antara berbagai pihak yang ada.  Dalam konteks lembaga lembaga publik seperti pemerintah, sejatinya peran melayani dan mengembangkan dukungan publik guna mencapai tujuan organisasi-lah yang sangat penting dimainkan oleh praktisi kehumasan. Pada konteks ini, maka praktisi humas harus bisa membentuk nilai-nilai, pemahaman, sikap-sikap, sampai perilaku dari publik agar sejalan dengan kebutuhan organisasi.





Referensi :
Abdurrachman, Oemi. 1993. Dasar-dasar Public Relations. Bandung: Citra Aditya Bakti
Effendy, Onong Uchjana. 1999.  Hubungan  Masyarakat.  Suatu   Study  Komunikologis. Cetakan ke lima. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Jefkins, Frank dan Daniel Yadin. 1996. Public Relations. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga
Kasali, Rhenald. 2005. Manajemen Public Relations. Jakarta: Grafiti
Moore, Frazier. 2004. Humas, Membangun Citra dengan Komunikasi. Bandung: Rosda.


*tulisan ini dirangkum dan diambil dari berbagai sumber

Minggu, 02 Oktober 2011

Teori Akomodasi Komunikasi

Dalam proses komunikasi, pesan merupakan sekumpulan lambang komunikasi yang memiliki makna dan kegunaan dalam menyampaikan suatu ide gagasan kepada manusia lain. Pesan dirancang oleh komunikator untuk disampaikan kepada komunikan melalui saluran komunikasi tertentu. Penyandian pesan (encoding) akan disesuaikan dengan karakteristik saluran pesan yang dipilih untuk menyampaikan pesan kepada komunikan. Karena saluran komunikasi menentukan bagaimana suatu pesan dikemas. Pesan yang sampai kepada komunikan akan diterima melalui proses pemaknaan pesan (decoding).

Menurut Ritonga, (2005:20) pesan yang disampaikan kepada komunikan pada dasarnya merupakan refleksi dari persepsi atau perilaku komunikan sendiri. Komunikator dalam merancang pesan berorientasi (berpedoman) pada komunikan agar ditafsirkan sama dan diharapkan dapat mempengaruhi komunikan untuk bersikap dan berperilaku sesuai yang diharapkan komunikator.

Pesan menurut Vardiansyah, (2004:60) adalah segala sesuatu yang disampaikan komunikator pada komunikan untuk mewujudkan motif komunikasinya. Pesan pada dasarnya bersifat abstrak. untuk membuatnya konkret manusia dengan akal budinya menciptakan lambang komunikasi: mimik, gerak gerik, suara, bahasa lisan dan bahasa tulisan. Karena itu, lambang komunikasi adalah bentuk atau wujud konkret dari pesan.

Lambang komunikasi diartikan sebagai kode atau simbol, atau tanda yang digunakan komunikator untuk mengubah pesan yang abstrak menjadi konkret. Komunikan tidak akan tahu apa yang kita pikirkan dan rasakan sampai kita mewujudkan pesan dalam salah satu bentuk lambang komunikasi; mimik, gerak-gerik, suara, bahasa lisan, dan atau bahasa tulisan. (Vardiansyah, 2004:61) Sebuah pesan tidak lahir begitu saja, tapi melewati suatu proses tertentu yang -disadari atau tidak disadari oleh pembuatnya—memengaruhi corak pesan tersebut.

Pada tulisan kali ini akan sedikit diulas mengenai teori akomodasi yang dicetuskan oleh Howard Giles. Teori ini dikemukakan oleh Howard Giles dan koleganya, teori ini berkaitan dengan penyesuaian interpersonal dalam interaksi komunikasi. Hal ini didasarkan pada observasi bahwa komunikator sering kelihatan menirukan perilaku satu sama lain.

Teori akomodasi komunikasi berawal pada tahun 1973, ketika Giles pertama kali memperkenalkan pemikiran mengenai model ”mobilitas aksen” Yang didasarkan pada berbagai aksen yang dapat didengar dalam situaisi wawancara. Teori akomodasi didapatkan dari sebuah penelitian yang awalnya dilakukan dalam bidang ilmu lain, dalam hal ini psikologi sosial. (West dan Lynn Turner, 2007: 217)

Akomodasi didefinisikan sebagai kemampuan menyesuaikan, memodifikasi atau mengatur perilaku seseorang dalam responnya terhadap orang lain. Akomodasi biasanya dilakukan secara tidak sadar. Kita cenderung memiliki naskah kognitif internal yang kita gunakan ketika kita berbicara dengan orang lain. (West dan Lynn Turner, 2007: 217)

Teori akomodasi menyatakan bahwa dalam percakapan orang memiliki pilihan. Mereka mungkin menciptakan komunitas percakapan yang melibatkan penggunaan bahasa atau sistem nonverbal yang sama, mereka mungkin akan membedakan diri mereka dari orang lain, dan mereka akan berusaha terlalu keras untuk beradaptasi. Pilihan-pilihan ini akan diberi label konvergensi, divergensi, dan akomodasi berlebihan.

Proses pertama yang dhubungkan dengan teori akomodasi adalah konvergensi. Jesse Delia, Nikolas Coupland, dan Justin Coupland dalam West dan Lynn Turner (2007:222) mendefinisikan konvergensi sebagai ”strategi dimana individu beradaptasi terhadap perilaku komunikatif satu sama lain”. Orang akan beradaptasi terhadap kecepatan bicara, jeda, senyuman, tatapan mata, perilaku verbal dan nonverbal lainnya. Ketika orang melakukan konvergensi, mereka bergantung pada persepsi mereka mengenai tuturan atau perilaku orang lainnya. Selain persepsi mengenai komunikasi orang lain, konvergensi juga didasarkan pada ketertarikan. Biasanya, ketika para komunikator saling tertarik, mereka akan melakukan konvergensi dalam percakapan.

Proses kedua yang dihubungkan dengan teori akomodasi adalah divergensi yaitu strategi yang digunakan untuk menonjolkan perbedaan verbal dan nonverbal di antara para komunikator. Divergensi terjadi ketika tidak terdapat usaha untuk menunjukkan persamaan antara para pembicara.

Terdapat beberapa alasan mengapa orang melakukan divergensi, pertama untuk mempertahankan identitas sosial. Contoh, individu mungkin tidak ingin melakukan konvergensi dalam rangka mempertahankan warisan budaya mereka. Contoh, ketika kita sedang bepergian ke Paris, kita tidak mungkin mengharapkan orang Prancis agar melakukan konvergensi terhadap bahasa kita. Alasan kedua mengapa orang lain melakukan divergensi adalah berkaitan dengan kekuasaan dan perbedaan peranan dalam percakapan. Divergensi seringkali terjadi dalam percakapan ketika terdapat perbedaan peranan yang jelas dalam percakapan (dokter-pasien, orangtua-anak, pewawancara-terwawancara, dan seterusnya. Terakhir, divergensi cenderung terjadi karena lawan bicara dalam percakapan dipandang sebagai anggota dari kelompok yang tidak diinginkan, dianggap memiliki sikap-sikap yang tidak menyenangkan, atau menunjukkan penampilan yang jelek.

Proses ketiga yang dapat dihubungkan dengan teori akomodasi adalah Akomodasi Berlebihan : Miskomunikasi dengan tujuan. Jane Zuengler (1991) dan West dan Lynn Turner (2007: 227) mengamati bahwa akomodasi berlebihan adalah ”label yang diberikan kepada pembicara yang dianggap pendengar terlalu berlebihan.” istilah ini diberikan kepada orang yang walaupun bertindak berdasarkan pada niat baik, malah dianggap merendahkan.

Interaksionisme Simbolik*

oleh: bambang wibiono

Persoalan mengenai kehidupan sosial manusia pada hakikatnya tidak dapat diabaikan dari sebuah jalinan interaksi sosial yang menopangnya. Bagaimanapun, sebuah kehidupan sosial atau sebuah masyarakat terbentuk dan terpelihara, sesungguhnya menyiratkan kerja-kerja individual manusia yang secara sosial terlibat dalam proses pembentukan realitas di luar dirinya.
Individu-individu yang beranekaragam dalam melakukan aktivitas secara kolektif (sosial), tentunya meniscayakan adanya pertukaran simbol. Sementara simbol itu sendiri sarat dengan muatan makna. Oleh karena itu, setiap individu pada dasarnya senantiasa melakukan proses pendefinisian situasi, menafsirkan realitas di luar dirinya yang penuh dengan simbol.
Berbicara mengenai simbol dalam dunia sosial kemasyarakatan, maka struktur sosial dilihat sebagai hasil produksi interaksi bersama yang tercipta mengenai simbol-simbol yang berupa bahasa, isyarat, dan penggunaan simbol lainnya. Tetapi dari kondisi yang ada menunjukkan bahwa wacana tentang ralitas kehidupan sehari-hari manusia sebagai mahluk perorangan atau individu bersifat kreatif-dinamis yang menciptakan dunianya sendiri. Konsep “diri” kurang dianggap sebagai bentuk kajian yang serius. Padahal dengan berusaha mengkaji persoalan seputar kehidupan sehari-hari merupakan salah satu cara untuk mendatangkan manfaat bagi kehidupan berasama, karena pada dasarnya kita tidak mungkin dapat hidup seorang diri, dan pasti memerlukan orang lain untuk mempertahankan hidup. Salah satunya yaitu dengan berusaha mengerti tentang siapa diri kita dan bagaimana seharusnya kita membawa diri ke masyarakat.
Ketika manusia lahir, ia tidak pernah sadar dan mengerti tentang siapa dirinya yang sesungguhnya karena masih kurang pemaknaan dan pemahaman terhadap realitas sosial. Manusia melakukan proses belajar melalui penggunaan simbol yang kemudian membentuk konsepsi “diri” mereka masing-masing. Melalui penggunaan simbol-simbol itu, manusia dapat melakukan perubahan-perubahan sosial bersama individu-individu lain, dapat menyesuaikan diri dengan yang lain, mempunyai kesamaan berfikir dalam mencapai tujuan bersama. Menurut Musgrove, manusia jarang sekali menyadari bahwa sebagian dari mereka atau mungkin keseluruhan dari kita telah mengalami proses perubahan kesadaran[1].
Perspektif interaksional menekankan tindakan yang bersifat simbolis dalam proses komunikasi manusia. Titik beratnya pada tindakan yang memungkinkan pengambilan peran (role taking) untuk mengembangkan tindakan bersama atau mempersatukan tindakan individu dengan tindakan individu-individu yang lain untuk membentuk kolektivitas. Tindakan bersama dari kolektivitas itu mencerminkan tidak hanya pengelompokan sosial, akan tetapi juga adanya persaan kebersamaan ataupun keadaan timbal balik dari individu-individu yang bersangkutan.
Untuk dapat berinteraksi dan dapat mengambil peran orang lain, seseorang perlu mempunyai informasi mengenai orang yang berada di hadapannya. Manakala ia asing bagi kita karena kita tidak memiliki informasi mengenai riwayat hidupnya (biographical stranger) dan atau tidak tahu kebudayaannya (cultural stranger), maka interaksi sukar dilakukan.
Perspektif interaksionisme simbolik bersumber pada pemikiran George Herbert Mead (1863–1931), selain itu juga dikenal nama Charles Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata[2]. Sosiolog yang dikenal dalam perspektif interaksionisme simbolik kontemporer lainnya adalah Herbert Blumer (1962) dan Erving Goffman (1959).
Dari kata interaksionisme sudah nampak bahwa sasaran pendekatan ini adalah interaksi sosial. Kata simbolik mengacu pada penggunaan simbol-simbol dalam interaksi[3]. Yang dimaksud simbol di sini menurut Leslie White adalah sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang mempergunakannya. Menurutnya, makna atau nilai tersebut tidak berasal dari atau ditentukan oleh sifat-sifat yang secara intrinsik terdapat dalam bentuk fisik atau objeknya, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa[4]. Menurut White, makna suatu simbol hanya dapat ditangkap melalui cara nonsensoris, yaitu melalui cara simbolik[5].
Sesuai dengan pemikiran-pemikiran Mead[6], definisi singkat dari tiga ide dasar dari interaksi simbolik adalah :
1. Mind (pikiran) - kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain.
2. Self (diri pribadi) - kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya.
3. Society (masyarakat) - hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu di tengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.
Dari penjelasan di atas, pada dasarnya interaksi simbolik didasarkan pada premis-premis berikut[7]: Pertama, individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) berdasarkan makana yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Ketika mereka menghadapi suatu situasi, respon mereka tidak bersifat mekanis, tidak pula ditentukan oleh faktor-faktor eksternal, tetapi bergantung pada bagaimana mereka mendefinisikan situasi yang dihadapi dalam interaksi sosial. Dalam hal ini inidividu dipandang aktif untuk menentukan lingkungan mereka sendiri.
Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, dan karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan karena manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya objek fisik, tindakan atau peristiwa (bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan, atau peristiwa itu), namun juga gagasan yang abstrak. Akan tetapi, nama atau simbol yang digunakan untuk menandai objek, tindakan, peristiwa atau gagasan itu bersifat arbitrer (sembarang).
Ketiga, makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Perubahan situasi dimungkinkan karena individu dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Manusia dapat membayangkan atau merencanakan apa yang akan dilakuakan bahkan mengantisipasi reaksi orang lain, mencari alternatif ucapan atau tindakan yang akan ia lakukan.
Terkait dengan penelitian ini, persoalan kekuasaan, terlebih lagi kekuasaan yang bersifat tradisional, pada dasarnya memuat proses pertukaran simbol antar manusia yang terjadi melalui interaksi. Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial, begitu juga politik pada dasarnya adalah interaksi antar manusia atau dengan lingkungannya menggunakan simbol-simbol. Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan dari penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial[8]. Oleh karena itu, dalam konteks politik, berdasarkan pemahaman dan penafsiran atas simbol yang diterimanya, kekuasaan dapat berjalan dan diterima dalam proses-proses sosial dan interaksi. Ini termanifestasikan dalam tindakan seseorang terhadap orang lain yang dianggap memiliki kuasa dan pengaruh.
Hal yang perlu diperhatikan dalam interaksi simbolik adalah mengenai aturan yang mengatur interaksi. Menurut David A. Karp dan W.C Yoels menyebutkan tiga jenis aturan, yaitu aturan mengenai ruang, waktu, dan mengenai gerak dan sikap tubuh[9].
Dalam interaksi dijimpai aturan tertentu dalam penggunaan ruang, dalam hal ini ruang yang dimaksud adalah jarak dimana interaksi itu berlangsung. Kondisi ini juga berlaku juga dengan waktu, karena interkasi akan bermakna berbeda pada waktu yang berbeda pula.
Dalam interaksi, sikap, gerak tubuh, atau gestur membantu memberikan makna terhadap simbol yang disampaikan, tidak hanya melalui ucapan saja. Interaksi tidak hanya memperhatikan apa yang dikatakan orang lain, tetapi juga apa yang dilakukannya. Komunikasi nonverbal ini kita gunakan secara sadar maupun tidak untuk menyampaikan perasaan kita kepada orang lain.
Kalau perbuatan hanya melibatkan satu orang, sedangkan perbuatan sosial melibatkan dua orang atau lebih. Menurut pandangan Mead, gestur merupakan mekanisme dasar dalam perbuatan sosial dan dalam proses sosial pada umumnya.


[1] Dalam Mulyana, Dedy. 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Cetakan ke-5, PT Remaja Rosda Karya, Bandung. Hal.: 229.
[2] Soeprapto, Riyadi. 2000, Interaksionisme Simbolik: Perspektif Sosiologi Modern, Averroes Press, Malang dan Pustaka Penajar, Yogyakarta.
[3] Sunarto, Kamanto. 2000, Pengantar Sosiologi, Edisi Kedua, lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, Jakarta. Hal.: 38.
[4] Mulyana, Dedy. 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Cetakan ke-5, PT Remaja Rosda Karya, Bandung. Hal.: 72.
[5] Sunarto, Loc. Cit.
[6] Lihat dalam Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2010, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Cetakan ke-4 (Terj. Nurhadi, Sosiological Theory), Kreasi Wacana, Yogyakarta, hal. 385-392.
.
[7] Mulyana, Op. Cit. hal 71-72.
[8] Ibid. hal 71
[9] Sunarto, Op. Cit. hal 39-40.



tulisan ini duambil dari http://duniapolitiku.blogspot.com/2010/10/sekelumit-tentang-interaksionisme.html

Rabu, 27 Juli 2011

Mimpi-Mimpi Indonesia


Oleh: Innas Rizky Afria

Indonesia merupakan negara yang kompleks. Dari aspek sosial, budaya, ekonomi, Indonesia memiliki potensi dan keanekaragaman. Karena keragaman dan kompleksnya kondisi yang ada, menyebabkan begitu kompleks juga permasalahan yang dihadapinya. Namun, dengan berbagai macam permasalahan yang harus dihadapi, bukan berarti Indonesia tidak bisa bangkit dari kondisi yang amburadul seperti saat ini. Di tengah permasalahan yang semakin kompleks, Indonesia tetap memilki harapan untuk menjadi negara yang diharapkan rakyatnya. 

Keragaman Indonesia merupakan suatu keniscayaan. Keragaman budaya, hayati, alam dan sosial-ekonomi. Keragaman ini merupakan salah satu kekuatan bangsa Indonesia. Bayangkan kita berada dalam sebuah komunitas dimana setiap orang dan kelompok menyumbangkan kekuatan masing-masing untuk menciptakan kedamaian kehidupan bersama. Setiap orang dan kelompok bekerja bersama mensinergikan setiap keunikan yang dimiliki. Setiap orang menciptakan keadaan yang sejahtera dan manusiawi dengan kreativitas masing-masing. Sebuah bayangan yang diimpikan oleh bangsa Indonesia. Sayangnya, Indonesia yang diimajinasikan oleh para founding father sering tersandung karang terjal. Indonesia sebagai sebuah semangat menggelora diawal kemerdekaan mengalami badai yang berkelanjutan. Sampai akhirnya, bangsa Indonesia berada pada krisis multidimensi yang berkelanjutan.

Begitu banyaknya potensi dan keragaman yang dimiliki menyebabkan banyak pula kendala dan masalah yang akan terjadi jika potensi dan keragaman itu tidak mampu dikelola dengan baik. Memang kenyataan yang ada saat ini, SDM di Indonesia belum bisa mengelola potensi maupun keragaman tersebut dengan baik.

a.    Aspek Ekonomi

Pada aspek ekonomi, kemiskinan hingga saat ini masih menjadi isu global dan masalah sosial yang paling dominan terutama bagi negara-negara dunia ketiga. Hampir di semua negara berkembang, hanya 10%, 20%, atau paling banyak 30% masyarakat yang dapat menikmati hasil pembangunan. Sisanya, mayoritas masyarakatnya hidup tak berdaya. Sebagai negara dunia ketiga, Indonesia juga mengalami hal yang serupa.

Jumlah masyarakat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2006 ini sebesar 17,75% dari total penduduk Indonesia (BPS, 2006). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada tahun 2005 yang mencapai 15,97%, berarti jumah penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta jiwa. Hal ini belum termasuk dengan jumlah penduduk yang masuk dalam kategori miskin sementara (transient poor) yang cukup besar. Transient poor merupakan penduduk yang penghasilannya dekat dengan garis kemiskinan. Output secara kuantitatif, pada akhir tahun 1960-an lebih dari 60% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, dan pada tahun 1996 menjadi sekitar 12 persen dari total penduduk Indonesia.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997 mengakibatkan jumlah orang miskin naik drastis menjadi 79,4 juta jiwa, terdiri dari 21,6 juta jiwa penduduk kota dan 56,8 juta jiwa penduduk desa. Angka ini kemudian pada tahun 2005 menurun menjadi 35,10 juta jiwa dan kemudian meningkat lagi di tahun 2006. Data tersebut di atas menunjukkan bahwa ketahanan masyarakat terhadap kemiskinan cenderung labil, walaupun berbagai kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan telah diterapkan. Sedangkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 2009, penduduk miskin pada Maret 2009 yang berjumlah 32,53 juta (14,15%) (Berita Resmi Statistik, BPS, No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009).

Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan sebuah cita-cita yaitu :

“…..Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum….”.

Sudah sepatutnya apabila visi pengentasan kemiskinan diubah menjadi penciptaan kesejahteraan. Visi ini akan mengalihkan fokus program secara menyeluruh. Bukannya, mencari persoalan tetapi mencari kisah sukses yang terjadi dalam suatu komunitas.

Ternyata semua pendekatan pembangunan tak mampu mensejahterakan rakyat di Negara Dunia Ketiga seperti Indonesia. Sebaliknya, pembangunan telah membawa dampak negatif khususnya bagi negara dunia ketiga tersebut. Diantaranya teori pertumbuhan dan modernisasi (pembangunan) telah melanggengkan pengangguran, menghasilkan ketimpangan pemerataan, dan menambah angka kemiskinan absolut, serta dampak lainnya. Namun teori ini hanya berhasil menaikkan pertumbuhan GNP (Fakih, 2001).

Kondisi ini sangat kontras jika dibandingkan dengan potensi sumberdaya alam Indonesia yang melimpah. Dengan potensi sumberdaya alam yang melimpah, seharusnya masalah ekonomi dan kemiskinan ini mampu teratasi. Permasalahannya adalah sumberdaya alam itu dikelola oleh perusahaan asing, dan sebagian besar keuntungan dari eksploitasi sumberdaya diangkut ke Negara lain. Dengan demikian, untuk dapat mengentaskan persoalan ekonomi, termasuk masalah kemiskinan, seharusnya pemerintah berani menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang mengelola sumberdaya alam bangsa ini. Kekayaan alam negeri ini harus dikelola dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia seperti amanat dalam Undang-undang Dasar 1945.

Selain itu, atas alasan efisiensi anggaran, perlu alokasi anggaran dalam APBN dengan memprioritaskan kebutuhan rakyat, bukan untuk kepentingan para pejabat Negara. Lebih baik anggaran diprioritaskan untuk penyediaan lapangan pekerjaan, karena saat ini jumlah pengangguran semakin meningkat. Selain itu, untuk menghambat jumlah penduduk yang akan berdampak pada meningkatnya angka kemiskinan, maka perlu ada upaya untuk menekan angka kelahiran.

b.    Aspek Sosial Politik

Dalam sebuah negara yang demokratis atau setidaknya dalam proses menuju demokrasi, adalah hak setiap warga negaranya untuk aktif dalam kancah perpolitikan. Rakyat  memiliki  hak untuk bebas memilih dan dipilih dalam  pesta demokrasi. Seperti kita ketahui bahwa negara kita ini sedang menginjak demokratisasi pasca runtuhnya rezim orde baru. Pasca keruntuhan orde otoriter, mulai  didengungkan sebuah  “mahluk asing” bagi rakyat Indonesia yang—selama kurang lebih tiga puluh dua tahun dalam “penjara” orde  baru—yaitu bernama reformasi.

Dengan hadirnya reformasi diharapkan menjadi sebuah gerbang kemerdekaan individu. Rakyat mulai bebas menyatakan aspirasi, kritik, dan saran kepada pemerintah atau publik. Media massa mulai bebas dalam menyiarkan berita tanpa harus ada tekanan dari pihak  manapun. Dengan adanya reformasi dan transisi demokrasi, setidaknya mulai ada kontrol sosial terhadap kinerja pemerintah secara transparan.

Masalah yang kemudian timbul adalah timbulnya euforia politik. Semua menyatakan hak dalam segala tindakan. Seolah semua boleh dilakukan dengan menafikan aspek lain. Adalah wajar bila hal itu terjadi pada masyarakat Indonesia yang selama puluhan tahun  tidak diberi pendidikan politik. Karena pada puluhan tahun tersebut mereka tidak pernah tahu dan tidak boleh tahu urusan politik sehingga dampak yang timbul adalah kekacauan yang mengatasnamakan demokrasi.

Pada tataran yang lebih tinggi, mulai  timbul masalah pada kinerja pemerintah baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. Karena Negara ini menganut sistem perwakilan, maka yang memegang kedaulatan penuh adalah rakyat. Namun tidak mungkin jika seluruh rakyat yang menjalankan roda   pemerintahan. Oleh karena itu keberadaan lembaga perwakilan merupakan  institusi yang diciptakan sebagai representasi dari rakyat, karena rakyat sendiri yang telah memilih wakilnya untuk duduk dalam lembaga tersebut dan sebagai sarana untuk mengaspirasikan keinginan dan  tuntutannya. Parlemen diharapkan menjadi wakil yang aktual dan obyektif dari aspirasi rakyat.

Pengalaman Pemilu 1999 merupakan contoh yang paling nyata dari adanya jarak antara gedung parlemen dengan kehendak rakyat. Inilah masalah dalam proses demokrasi yaitu adanya jarak atau kesenjangan antara institusi wakil rakyat dan  rakyat yang diwakilinya. Hingga sekarangpun kesenjangan  itu masih  terlihat.

Belum lama ini rakyat dikejutkan oleh kenaikan harga BBM yang menyebabkan bertambahnya angka kemiskinan, putus sekolah, pangangguran dan sebagainya. Namun apa yang terjadi di gedung dewan, mereka malah menginginkan kenaikan gaji sebesar 74 persen. Padahal gaji anggota dewan (DPR) sudah sangat tinggi. Mereka seperti tidak mau tahu penderitaan rakyat. Mereka berdalih untuk meningkatkan kinerja. Tetapi apa yang kita  lihat di sana, adalah sebuah kegiatan bermalas-malasan. Bahkan ada lelucon bagi anggota dewan,  ketika  jaman orde baru anggota dewan terkenal dengan selogan 4D (datang, duduk, diam, dan duit), tetapi sekarang adalah duit, duit, dan duit. Ini mencerminkan adanya demoralisasi.

Kegiatan KKN  (korupsi,  kolusi, dan nepotisme) kian marak dilakukan oleh pejabat  baik di tingkatan  lokal maupun pusat. Ini mengindikasikan buruknya pola rekruitmen  wakil   rakyat.  Masalah   pencalonan wakil yang   akan   duduk   di   dalam parlemen bukan semata masalah banyaknya dukungan massa tetapi juga masalah standar   dan   persyaratan  wakil.  Hal   inilah   yang  menjadi   salah   pengertian   oleh masyarakat. Masyarakat menganggap siapa saja boleh menjadi wakil rakyat tanpa harus  terbentur  dengan persyaratan. Padahal  masalah  standar  dan persyaratan merupakan hal yang paling substansial.  Adapun standar dan persayaratan tersebut menurut Robert A. Dahl, seorang ahli politk menyatakan adalah persayaratan moral, pengetahuan akan kebijakan dan kepentingan umum, serta keahlian teknis atau instrumental yang memadai terkait dengan kapabilitas sebagai terwakil.

Pemilu merupakan komponen penting dalam negara demokrasi yang menganut sistem perwakilan, sebab ia berfungsi sebagai alat penyaring bagi politikus-politikus yang akan mewakili dan membawa suara rakyat di dalam lembaga perwakilan. Mereka yang terpilih dalam Pemilu dianggap sebagai orang atau kelompok yang mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk berbicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar melalui Parpol (Budiardjo, 1982).

Pemilu juga sangat penting di negara demokrasi, karena dengan Pemilu rakyat telah memberi mandat secara prosedural dan sah kepada wakil-wakilnya untuk melaksanakan hak-hak demokratisnya sehingga arti demokrasi sebagai negara yang diperintah oleh rakyat dapat diimplementasikan melalui cara tertentu. Oleh karena begitu pentingnya Pemilu sebagai media rekruitmen wakil rakyat, maka untuk memperbaikinya tidak harus mengubah Sistem Pemilu (electoral laws), tetapi yang lebih penting adalah memperbaiki materi tentang proses Pemilu (electoral processes) agar Pemilu dapat berjalan lebih fair dan demokratis (Mahfud MD, 1999).

Reformasi telah membawa dampak yang luar bisa bagi perkembangan politik di Indonesia. Namun sayangnya di tangan Partai politik, reformasi seakan berhenti hanya menjadi sebuah retorika. Partai efektif hanya dalam memobilisasi massa saja, sehingga Nurcholis Madjid menyimpulkan bahwa parpol telah gagal memaknai reformasi. Bisa jadi politik Indonesia sekarang adalah politik partai-partai (Sofa Marwah, 2003). Banyak orang berbondong-bondong “ber-partai ria” dan menggalang dukungan massa untuk dapat memenangkan Pemilu dengan tujuan mendapatkan jabatan publik sebagai tujuan politik.

Masalah kebobrokan yang terjadi dalam kehidupan politik merupakan masalah rekruitmen, dan ini menjadi tanggung jawab partai politik yang mengusungnya selain proses Pemilu. Partai politik seharusnya mampu berfungsi sebagaimana mestinya. Partai politik memiliki tugas dalam memberi pendidikan politik pada masyarakat agar mereka tahu posisinya dalam kehidupan bernegara. Selain itu agar rakyat tahu bagaimana memberikan hak suaranya dalam Pemilu, karena ini berimplikasi pada akuntabilitas pemangku jabatan publik dalam pemerintahan baik legislatif maupun eksekutif. Sehingga orang yang dipilih adalah benar-benar orang yang berkualitas. Pada akhirnya akan tercipta parlemen yang kredibel dan pemimpin yang bijak serta memiliki visi misi untuk Indonesia.

c.    Aspek Pendidikan dan Budaya

Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia ini dapat diukur melalui parameter pendidikan. Karena kualitas manusia dapat ditingkatkan melalui proses pendidikan, baik formal maupun nonformal. Walaupun pendidikan memiliki arti penting, namun di Indonesia tidak mendapatkan perhatian serius dari pihak pemerintah.

Tingginya biaya pendidikan berkualitas di Indonesia menjadikan banyak masyarakat yang menganggap pendidikan hingga jenjang tertinggi hanyalah sebuah mimpi belaka, terlebih bagi mereka yang terkatagori sebagai masyarakat kurang mampu. Ini dikarenakan kondisi masyarakat Indonesia sebagian besar miskin, sehingga masalah pendidikan dijadikan prioritas yang entah ke berapa. Yang ada dalam pikiran mereka adalah untuk dapat bertahan hidup pada hari itu.

Jika melihat sejarah pendidikan formal di Indonesia, dapat dilihat sejak diberlakukannya politik etis di Indonesia. Politik etis di bidang edukasi sebetulnya bertujuan menghasilkan tenaga administratif kelas menengah untuk melakukan fungsi-fungsi pemerintahan dan kepentingan bisnis Belanda di Indonesia. Bisa disimpulkan bahwa tujuan pendidikan saat itu tidak ada urusannya dengan kesejahteraan rakyat Indonesia. Bandingkan dengan kondisi pendidikan kita saat ini. Pendidikan nasional memiliki tujuan yang sangat-sangat mulia. Berikut ini kutipannya :

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (UU Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3).

Namun kenyataannya adalah bahwa amanat dalam undang-undang itu hanya semacam dongeng dan mitos belaka. Buktinya, setiap tahun ada segerombolan job seeker untuk memenuhi formasi PNS, BUMN atau perusahaan-perusahaan asing. Itulah kenapa Madura tetap miskin, Trenggalek tetap miskin, Lamongan tetap miskin, Jember tetap miskin. Belum lagi Papua, Aceh, yang kaya akan SDA tapi tetap miskin.

Meski alokasi dana untuk pendidikan mencapai 20%, namun dalam kenyataannya jumlah itu belum dilaksanakan sepenuhnya. Ini terbukti masih banyaknya ketimpangan antara sekolah di perkotaan dengan sekolah yang ada di pedesaan. Bahkan masih banyak juga sekolah di wilayah Jakarta yang kondisinya memperihatinkan dari segi fisik.

Saat ini pendidikan merupakan “barang” mewah yang tidak bisa dinikmati oleh semua kalangan. Ketika dahulu pendidikan hanya diperuntukkan bagi kalangan bangsawan dan bangsa Belanda, sekarang pun tidak berbeda. Meskipun pendidikan diperbolehkan untuk siapa saja, namun dengan aturan, sistem, dan “adatnya”, pendidikan tidak dapat dinikmati oleh kalangan bawah. Kenyataan ini diperparah dengan kualitas mutu pendidikan negeri kita yang belum memadai, begitu juga dengan sarana prasarana penunjang pendidikan. Tingginya biaya pendidikan ternyata belum diimbangi dengan tingginya kualitas dan mutu pendidikan yang diberikan. Sekolah negeri, sekolah favorit hanya sebatas prestise atau kebanggaan semata.

Dengan amanat konstitusi dan cita-cita para pendiri bangsa ini, seharusnya negara memfasilitasi dan mewujudkan sebuah pendidikan yang berkualitas dengan didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Rakyat berhak memperoleh pendidikan yang layak tanpa terbebani oleh biaya. Kekayaan negara harus dipergunakan untuk menunjang pendidikan. Dengan demikian diharapkan tercipta generasi penerus bangsa yang berkualitas dapat berkontribusi memajukan bangsa dan negara ini.

Kualitas pendidikan juga sangat mempengaruhi moral dan budaya bangsa ini yang tengah mengalami degradasi. Banyak pemimpin atau pejabat di negeri ini yang mengabaikan moral dan etika sebagai seorang pemimpin yang seharusnya menjadi panutan bagi rakyat yang dipimpinnya. Para pemimpin itu bukanlah orang yang tak berpendidikan, tetapi banyak dari mereka adalah berpendidikan tinggi, namun perilakunya tidak mencerminkan layaknya orang yang berpendidikan.

Carut-marut persoalan bangsa di negeri ini seolah menjadi aubade yang mengiringi pejalanan waktu. Fenomena degradasi moral dari pemimpin negeri ini turut mewarnai hari demi hari. Mulai dari kasus korupsi, pelecehan seksual, tindakan asusila, judi, narkoba, dan kasus lainnya adalah sebagian fenomena yang turut andil dalam menghancurkan martabat bangsa. Belum lagi kasus selebriti yang terjerat kasus narkoba, penganiayaan, dan kasus pornoaksi. Sedangkan di tengah realitas masyarakat miskin, merebaknya kriminalitas, pengangguran, pengemis, perdagangan anak, dan pelacuran adalah persoalan lainnya.

Apa makna di balik sejumlah kasus buram tersebut? Bangsa ini baik secara kolektif maupun individual, menunjukkan indikasi mengalami pelemahan karakter sebagai bangsa yang bermartabat mulia, selain karena lemahnya sistem. Bangsa ini telah kehilangan rasa malu dan kehormatan, padahal selama ini mengaku memiliki tradisi besar (the great tradition) sebagai bangsa Timur yang dibangga-banggakan. Bangsa ini secara khusus tengah kehilangan martabat moral dan spiritual atau akhlak sebagai bangsa yang religius atau beragama sebagaimana melekat dalam kepribadian bangsa.

Terdapat pola umum dari sejumlah peristiwa tersebut, yakni tidak adanya atau lemahnya jati diri selaku komunitas atau warga bangsa yang memiliki karakter yang kuat dan berstandar moralitas yang kokoh. Kecenderungan tersebut mengingatkan kita pada tesis Gunnar Myrdal tentang bangsa-bangsa yang dikategorikan memiliki sifat "soft nation", yakni bangsa dengan karakter yang lembek atau lemah.

Bangsa yang mudah terjebak pada godaan, toleran pada penyimpangan, tidak kokoh pendirian, tidak atau kurang memiliki harga diri manakala dihinakan atau terjerumus pada kesalahan, sekaligus tebal muka dan aji mumpung yang membuat diri jatuh. Bangsa yang kehilangan fondasi moral dan spiritual sehingga dengan mudah melakukan tindakan-tindakan yang keliru, salah, dan nista. Bangsa yang kehilangan pedoman sehingga tak lagi mampu membedakan secara jelas tentang nilai benar dan salah, baik dan buruk, serta pantas dan tidak pantas.

Di hadapan bangsa-bangsa lain, bangsa Indonesia seolah kehilangan martabat. Pulau dan hak-hak cipta anak bangsanya dijarah, bahkan tanpa proteksi politik dan kehormatan sebagaimana layaknya bangsa yang bermartabat. Sudut-sudut negerinya diobrak-abrik oleh terorisme dan politik terorisme dunia internasional, nyaris dengan mengikuti seluruh irama politik adidaya tanpa daya kritis dan sikap berdaulat. Budaya-budaya “populis” yang cenderung bersifat liberal, pragmatis, dan konsumtif menggerogoti bangsa ini, bahkan pada generasi muda kita.

Dunia dihadapkan pada gempuran arus globalisasi yang berimplikasi pada liberalisasi dan perdagangan bebas. Globalisasi dianggap sebuah keniscayaan dalam jaman modern ini. Yang perlu dicatat adalah bahwa setiap Negara belum tentu memiliki kesiapan dalam menghadapi ini. Dengan globalisasi, arus budaya, dan ekonomi menjadi sulit untuk dibatasi. Akibatnya, Negara yang belum siap menghadapai arus globalisasi ini akan semakin terseret dan tertinggal. Bahkan ada yang menganggap bahwa globalisasi ini adalah salah satu model penjajahan gaya baru melalui paham neoliberalismenya.

Dengan globalisasi pula, arus informasi dapat dengan mudah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Dan ini berarti memudahkan penyebaran budaya. Selama ini budaya yang berkiblat pada dunia barat sengaja dihembuskan pada Negara-negara lain untuk memudahkan liberalisasi di bidang ekonomi. Masyarakat digiring pada sebuah budaya konsumerisme karena ini akan dapat menjadi penopang pemasaran barang produksi dan jasa yang ditawarkan Negara-negara kapitalis.

c.1 Mengabaikan aspek lokalitas

Sistem yang diterapkan di Negara kita telah mengabaikan aspek-aspek lokalitas. Ini sebagai imbas dari arus globalisasi. Budaya-budaya lokal yang ada tergerus oleh budaya “populis” yang disebarkan melalui akses informasi. Masyarakat lokal enggan menampilkan sosok lokalitasnya dengan seperangkat nilai, norma dan bahasa yang melekat di dalamnya.

Globalisasi, selain menciptakan sebuah masyarakat dan tatanan global tanpa ada batas-batas Negara, tetapi juga di dalamnya mengandung pertentangan yang mengakibatkan glokalisasi. Dalam ranah budaya, masyarakat cenderung memperkuat basis nilai-nilai lokalnya sebagai ciri khasnya. Selain menciptakan nasionalisme kebangsaan dan nasionalisme global, globalisasi dapat memicu terciptanya entitas-entitas lokal dan nasionalisme kedaerahan sebagai manifestasi karakter bangsa yang sarat dengan nilai luhur. Nilai-nilai yang dianut pada budaya yang ada di Indonesia sebagai karakter bangsa dapat dijadikan counter hegemoni budaya ”populis”.

Sudah saatnya bangsa dan negara ini bangkit dari keterpurukan moral dan spiritual untuk kemudian menjadi bangsa yang berkarakter mulia. Krisis ekonomi boleh masih menjadi masalah yang belum terselesaikan, tetapi jangan biarkan bangsa ini pun terpuruk mentalitasnya. Boleh miskin secara materi, tetapi jangan miskin harga diri dan kehormatan. Jangan biarkan anak-anak bangsa ini menjadi pemulung dan tukang menengadahkan tangan ke pihak lain. Jangan jadi bangsa "inlander", ujar Bung Karno dengan lantang ketika menghadapi arogansi politik kolonial.

Di sinilah tugas negara, kekuatan-kekuatan masyarakat (civil society), dan para elite serta mahasiswa sebagai generasi penerus dan kader intelektual. Bagaimana secara bersama-sama membangun kembali karakter bangsa Indonesia. Di masa lalu Sukarno pernah menggelorakan program nasional "nation and character building" dan gerakan berdikari.

c.2 Dari mana memulai?

Pendidikan merupakan langkah paling sistematik dan berjangka panjang untuk menjadi media utama membangun karakter bangsa, yang dilakukan secara simultan. Pendidikan merupakan media internalisasi nilai-nilai kebangsaan yang paling strategis. Dimulai dari pendidikan di lingkungan keluarga, masyarakat, dan lembaga-lembaga pendidikan formal dengan langkah-langkah yang sistematik yang muatan utamanya nilai-nilai luhur kebangsaan.

Tanamkan kembali kebanggaan sebagai anak bangsa yang bermartabat, berdaulat, dan berkepribadian mulia. Pendidikan agama, akhlak atau budi pekerti, dan pendidikan kewargaan dirancang-bangun secara lebih sistematik dan komprehensif. Langkah lain ialah penanaman nilai-nilai kepribadian bangsa melalui pranata-pranata sosial di masyarakat dengan berbagai pendekatan yang bersifat kultural. Melalui kegiatan pengajian, karang taruna, remaja masjid, dan kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya ditanamkan nilai-nilai akhlak atau kepribadian bangsa yang utama. Modal-modal sosial ini yang dapat dijadikan modal dalam membangun sebuah karakter bangsa yang luhur, bermartabat yang pernah melekat pada bangsa kita tanpa menggantungkan nasib pada bangsa lain.

***


Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik, 2009. “Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2009”, Berita Resmi Statistik No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009.

Budiardjo, Miriam. 1982, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta.

Fakih, Mansour. 2001, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Cetakan ke-1, Insist Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Mahfud MD, Moh. 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Penerbit Gama Media atas kerjasama Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation, Yogyakarta.

Marwah, Sofa. 2003, “Partai Politik dan Prospek Pemilu 2004 (Suatu Kajian Budaya Politik   Elite   dan   Massa)”,  Swara   Politika:   Jurnal   Politik   dan Pembangunan, Vol.  3. No. 2, Oktober 2003, diterbitkan oleh Laboratorium Ilmu Politik FISIP Unsoed, Purwokerto.

Kamis, 09 Juni 2011

KETIKA MEDIA TELAH MENGUASAI SEGALA HAL


KETIKA MEDIA TELAH MENGUASAI SEGALA HAL
Oleh: Innas Rizky Afria

Globalisasi menuntut kita untuk kritis dalam menyikapi segala hal. Media turut berperan besar dalam memberitakan suatu peristiwa. Dan rasional lah yang harus digunakan, namun ketika rasio mengubah rasa dalam budaya maka apa yang telah muncul dengan jernih tiba-tiba bisa menjadi buram, dan apa yang telah kabur atau buram bisa menjadi transparan.

Gegap gempita perubahan besar dalam pencerahan masyarakat modern yang ditandai kebebasan berfikir menuntut adanya transformasi yang besar-besaran dalam bidang apapun. Teknologi yang semakin berkembang setidaknya telah mendukung kebutuhan masyarakat modern saat ini. Perkembangan teknologi tidak selamanya membawa efek yang positif. Namun juga dapat menimbulkan efek yang paling buruk bagi kehidupan yang belum siap dengan instalasi-instalasi teknologi yang terus berkembang seiring dengan arus budaya globalisasi. Dan inti dari globalisasi adalah kemajuan teknologi, dari internet sampai komunikasi via satelit. Mampu atau tidaknya Indonesia menghadapi globalisasi ini adalah dapat dilihat dari seberapa banyak orang yang terdidik. Dan pendidikan menjadi isu yang sangat sentral bagi keberhasilan pembangunan dunia informasi Indonesia.
Penyebaran informasi kini semakin mengglobal, melampaui sekat tradisional yang mengganggu: etnis, budaya, politik, dan agama. Penyebaran informasi ini dapat melalui berbagai macam media. Ada setidaknya empat kategori media massa modern yang kita kenal, antara lain media cetak (koran, majalah), rekaman (kaset), gambar (film, video), dan media penyiaran (radio, TV). Namun pada perkembangan selanjutnya, terjadi perubahan radikal pada perkembangan media : penemuan komputer dan internet. Multimedia interaktif memungkinkan berbagai data dan informasi disebarkan merata melalui jejaring komputer yang saling terhubung.
 Media yang berfungsi memberikan informasi kepada khalayak tentang kejadian-kejadian di seluruh pelosok dunia, berperan besar di dalam bidang apapun. Media merupakan lokasi (forum) untuk menampilkan peristiwa masyarakat. Kita dapat mengetahui perkembangan-perkembangan dunia melalui media, dan melaui media pula kita tahu segala informasi-informasi yang berkaitan dengan sosial, ekonomi, budaya, maupun politik. Dalam perkembangannya media telah banyak mengalami perubahan, media yang awalnya berfungsi memberikan informasi saja saat ini media telah mulai bermain ‘uang’. Media telah cerdik dalam memainkan suatu peristiwa, tak jarang pula media membolak-balikkan fakta, menambahkan ‘bumbu-bumbu’ yang tidak sewajarnya ke dalam suatu berita sehingga terkadang malah memberikan kesan lebay bahkan sering pula media mengembangkan opini yang kurang benar kepada publik. Entah apa yang bisa merubah citra media menjadi demikian, namun pada kenyataannya memang saat ini media telah berubah dan banyak melakukan penyimpangan dari fungsi yang sebenarnya. Banyak kepentingan-kepentingan tersirat dibalik pembuatan informasi-informasi suatu peristiwa yang tidak akurat dan faktual. Ironisnya, para penguasa di negeri ini pun seolah-olah takut terhadap media, padahal seharusnya media dapat mendekatkan hubungan antara pemerintah dengan masyarakat, media juga seharusnya digunakan sebagai jembatan bagi pemerintah  untuk berkomunikasi dengan rakyatnya sehingga di sini media dapat berfungsi sebagai penyelaras, penyeimbang, dan mengurangi kesenjangan maupun gap antara pemerintah dan masyarakat. Denis McQuail berpendapat bahwa media merupakan sumber dominan pencipta citra individu, kelompok, dan masyarakat. Media dapat menciptakan citra seseorang tanpa peduli jabatan atau kedudukannya, bahkan saat ini orang nomor satu di Indonesia saja takut terhadap permainan media.
Kondisi bangsa yang sudah semrawut, semakin semrawut dengan keadaan pemimpin bangsa dan permainan monopoli media. Telah banyak kebohongan-kebohongan, kelicikan-kelicikan di dalam sistem pemerintahan bangsa ini. Lantas, kepada siapakah masyarakat harus menaruh kepercayaan? Pemimpin? Media? Atau percaya terhadap opini yang berkembang? Inilah yang menyebabkan masyarakat menjadi apatis terhadap perkembangan negara. Masyarakat tidak mau ambil pusing terhadap urusan-urusan negara yang semakin tidak jelas. Media pun malah turut membingungkan masyarakat yang tidak tahu apa-apa dengan bahasa-bahasanya yang kadang terkesan membesar-membesarkan suatu masalah kecil. Namun, media juga tidak dapat disalahkan ketika memang terjadi suatu peristiwa yang harus diberitakan secara gamblang. Akhirnya tetap kaum intelektual lah yang diperlukan untuk mengatasi dan menghadapi ambiguitiy yang serba membingungkan ini. Oleh karena itu apa pun yang terjadi negara ini harus bisa meningkatkan kualitas SDM agar kondisi bangsa yang sudah terlanjur amburadul ini tidak semakin parah. Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menuntut kita untuk menjadi revolusioner bagi bangsa dan negara agar tidak terus terpuruk seperti saat ini. Meminimalisasi kesenjangan yang semakin jelas terlihat.

Kamis, 02 Juni 2011

ANALISIS FENOMENA KOMUNIKASI ANTARMAHASISWA

 Oleh : Innas Rizky Afria *)


Pengamatan tentang peristiwa komunikasi dalam peristiwa komunikasi antarmahasiswa di lingkungan kampus, khususnya di universitas jenderal soedirman dilatar belakangi oleh adanya fenomena pemakaian bahasa yang berbeda antara komunikator dan komunikan. Adapun tujuan pengamatan yang dilakukan adalah untuk mendeskripsikan contoh peristiwa komunikasi antarmahasiswa yang berasal dari berbagai macam daerah, menganalisis komponen-komponen komunikasi beserta unsurnya dalam peristiwa komunikasi dan untuk memenuhi tugas mata kuliah pengantar ilmu komunikasi.

Komunikasi merupakan hal yang paling penting untuk mahasiswa agar dapat beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Komunikasi adalah suatu proses, dan merupakan serangkaian tindakan atau peristiwa yang terjadi secara berurutan. Komunikasi terjadi karena upaya yang disengaja dan punya tujuan atau dalam keadaan sadar. Hal yang dibicarakan dalam komunikasi antarmahasiswa ini meliputi apa saja, dari perkenalan, tugas kuliah, dan lain sebagainya. Ini bisa terjadi di mana saja, tapi lebih seringnya terjadi di lingkungan kampus. Proses komunikasi yang baik biasanya ada frame of reference(kerangka acuan) atau bisa disebut overlaping of interest/kesamaan minat. Salah satu latar belakang frame of reference adalah budaya. Otomatis, kita harus menyesuaikan dengan budaya lawan bicara kita. Dalam pengamatan yang telah dilakukan, komunikasi   yang terjadi antarmahasiswa sering terhambat karena perbedaan bahasa yang digunakan dan terkadang si komunikan tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh komunikator sehingga tidak ada kesamaan makna. Padahal pengertian komunikasi yang bersifat dasariah memaparkan bahwa komunikasi itu minimal harus mengandung kesamaan makna antara dua pihak yang terlibat. Sebagai contoh yang paling mencolok adalah bahasa sunda dan bahasa jawa, jika memperhatikan mahasiswa asal jawa dan mahasiswa asal sunda sedang berkomunikasi dengan menggunakan bahasa campuran (indonesia-jawa, indonesia-sunda) kita akan menemukan hal-hal yang menarik. Kadang ditemukan kosa kata yang sama tetapi berbeda arti, atau kosa kata yang sama tetapi memiliki makna yang berbeda. Ini hanya sebagian contoh kecil yang masih sama-sama bangsa Indonesia dan mungkin bisa diatasi dengan menggunakan bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia atau terpaksanya dapat menggunakan kial/gesture, isyarat serta gambar yang merupakan media komunikasi primer walaupun cara ini juga sangat terbatas karena hanya bisa mengkomunikasikan hal-hal tertentu, tapi yang penting komunikasi tetap dapat berjalan dengan baik. Contoh lain yang lebih luas adalah  komunikasi yang berbeda bangsa, mereka akan mengalami hambatan-hambatan yang jauh lebih berat jika tidak mengerti bahasanya, mungkin akan bisa teratasi jika komunikasi yang terjadi adalah face to face atau tatap muka yang termasuk komunikasi secara primer. Cara-cara mengatasi nya juga dapat dengan kial/gesture, isyarat, gambar, lambang, dsb. Komunikasi yang baik juga harus ada feed back atau umpan balik. Umpan balik ini dapat dilakukan secara verbal maupun non verbal. Agar komunikasi berhasil walaupun ada hambatan atau gangguan (noise), komunikator  harus selalu memperhatikan umpan balik, sehingga ia dapat segera merubah gaya komunikasinya ketika ia mengetahui umpan balik dari komunikan bersifat negatif. Contoh peristiwa komunikasi antarmahasiswa ini menitikberatkan pada fungsi komunikasi sosial, yaitu komunikasi penting membangun konsep diri kita, aktualisasi, dan terhindar dari tekanan. Pernyataan aktualisasi diri merupakan pernyataan eksistensi diri, menunjukkan bahwa kita sebenarnya kita ada.  Fenomena komunikasi antarmahasiswa ini juga mengandung fungsi komunikasi ekspresif, komunikasi yang menjadi instrumen untuk manyampaikan perasaan-perasaan(emosi kita) melalui pesan-pesan non verbal.

  • Kesimpulan

Komunikasi merupakan hal yang paling penting untuk mahasiswa agar dapat beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Komunikasi adalah suatu proses, dan merupakan serangkaian tindakan atau peristiwa yang terjadi secara berurutan.   Dalam pengamatan yang telah dilakukan, komunikasi   yang terjadi antarmahasiswa sering terhambat karena perbedaan bahasa yang digunakan dan terkadang si komunikan tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh komunikator sehingga tidak ada kesamaan makna.

Cara mengatasi hambatan-hambatan yang ada dapat menggunakan kial/gesture, isyarat serta gambar yang merupakan media komunikasi primer walaupun cara ini juga sangat terbatas karena hanya bisa mengkomunikasikan hal-hal tertentu, tetapi yang penting komunikasi tetap dapat berjalan dengan baik. Seorang komunikator  harus selalu memperhatikan umpan balik, sehingga ia dapat segera merubah gaya komunikasinya ketika ia mengetahui umpan balik dari komunikan bersifat negatif. Contoh peristiwa komunikasi antarmahasiswa ini menitikberatkan pada fungsi komunikasi sosial, yaitu komunikasi penting membangun konsep diri kita, aktualisasi, dan terhindar dari tekanan.

*) disusun untuk memenuhi tugas pengantar ilmu komunikasi/2010