Indonesia
merupakan negara yang memiliki keaneragaman budaya. Seiring perkembangan zaman,
bermacam-macam budaya yang ada di Indonesia ini perlu dijaga dan dilestarikan
agar tidak terbawa arus globalisasi. Krisis identitas semakin menjadi ketika
arus globalisasi sudah merasuk sedemikian rupa ke dalam sendi-sendi kehidupan
masyarakat.
Diperkenalkannya bahasa asing, terutama bahasa Inggris melalui
berbagai mekanisme sosial, terutama pendidikan, akan membuka peluang bagi
semakin terpisahnya masyarakat lokal dari identitasnya yang terikat pada
teritorialitas. Dalam
konteks lokal seperti Banyumas, budaya Banyumasan berhadapan dengan budaya Jawa
dominan seperti Yogya dan Solo. Dari segi budaya dan bahasa, Banyumas dianggap
“berbeda” dengan Jawa pada umumnya meskipun Banyumas merupakan subkultur dari
kultur Jawa secara umum. Subkultur Banyumas ini diidentifikasi (dikonstruksi)
sebagai unik dan lucu terutama dari segi bahasanya. Selain itu, dari segi
karakteristik masyarakatnya, orang Banyumas hampir selalu diidentifikasi
sebagai lugu dan ndeso. Pada
perkembangan zaman yang semakin terbuka dan meniscayakan sebuah interaksi dan
komunikasi antar budaya akan melahirkan pertentangan, akulturasi, dan
merekonstruksi pemahaman dan nilai-nilai budaya masing-masing. Sebuah budaya
dari subkultur tertentu akan memposisikan diri sebagai bagian dari kultur
dominan. Proses adaptasi ini pada akhirnya akan merekonstruksi ulang mengenai
persepsi atau pemahaman tentang nilai yang dianut suatu kelompok masyarakat. Banyumas
saat ini merupakan sebuah tempat yang terbuka terhadap pengaruh budaya lain.
Dengan banyaknya institusi pendidikan, khususnya perguruan tinggi, akan memungkinkan
pertukaran dan interaksi budaya—termasuk di dalamnya bahasa—melalui komunikasi.
Banyaknya pendatang dari berbagai daerah, khususnya dari daerah Jawa kultur
dominan seperti Yogya, Solo, Magelang, Semarang dan sekitarnya, dan bahkan Jawa
Timur akan memungkinkan terjadinya pertukaran itu. Banyumas cenderung
dianggap sebagai Jawa “yang lain”, misalnya dalam hal bahasa, Banyumas dianggap
kurang memperhatikan etika dalam bertutur tidak seperti bahasa Jawa pada
umumnya yang melihat strata dalam bahasa. Namun bagaimanakah ketika masyarakat
dari kultur Jawa yang dominan ini masuk ke dalam komunitas masyarakat Jawa yang
dianggap “lain”, seperti Banyumas?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar