Innas Rizky Afria*
Banyumas
sebagai bagian dari daerah Jawa memiliki ragam budaya yang memiliki kemiripan
dengan daerah lain di tanah Jawa. Meski ada yang menilai bahwa Banyumas adalah
termasuk “Jawa yang lain”, namun secara umum budaya Banyumas dipengaruhi oleh
wilayah sekitarnya, termasuk tradisi batik. Batik
merupakan salah satu hasil cipta, karsa, dan rasa masyarakat Indonesia. Batik
sudah menjadi icon Indonesia di mata
dunia, meski beberapa negara lain pun memiliki batik. Batik Indonesia, sebagai
keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang
terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya
lisan dan nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of
Humanity) sejak 2 Oktober, 2009. Sayangnya tidak semua daerah penghasil
batik dapat berkembang dengan baik. Seperti halnya batik Banyumasan yang kurang
dikenal luas oleh masyarakat.
Menengok Sejarah
Berbicara
mengenai batik Banyumasan, diriwayatkan bahwa sejarah batik berawal ketika
perang Diponegoro berakhir, yaitu sekitar tahun 1930. Konon banyak pengikut
Pangeran Diponegoro yang pindah dari Solo dan Yogya kemudian menetap di
Banyumas. Banyak di antara mereka turut pula anggota keluarga kerabat Keraton
Yogya dan Solo yang menolak kebijakan kolonial Belanda. Mereka pindah dan turut
membawa serta seni membatik ke Banyumas. Lambat laun ketrampilan membatik
tersebar luas di kalangan masyarakat Banyumas. Itulah sebabnya, batik Banyumas
mendapat banyak pengaruh batik Yogya dan Solo.
Kesenian
batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu
kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan
hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga
serta para pengikutnya. Karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar
kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan
ditempatnya masing-masing.
Lama-lama
kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi
pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang.
Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi
pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria.
Realitas Batik di Barlingmascakeb
Saat
ini batik bukan lagi simbol kalangan bangsawan, namun sudah menjadi budaya
masyarakat umum. Persoalannya adalah tidak semua daerah mengembangkan
nilai-nilai budaya batik ini. Di beberapa wilayah Karesidenan Banyumas, masyarakat
mulai meninggalkan tradisi membatik. Tidak seperti beberapa kota sentra batik
yang terkenal seperti Solo, Yogyakarta, Pekalongan, dan Cirebon, wilayah
penghasil batik di Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas,
Cilacap, dan Kebumen) cenderung punah.
Sebut
saja kampung batik yang ada di Desa Tanuraksan dan Desa Jemur, Kabupaten
Kebumen, kondisinya sangat memprihatinkan. Untuk daerah yang disebut kampung
batik hampir tidak nampak di sana. Di daerah itu hanya ada satu pengusaha
batik. Selebihnya hanya pengrajin batik rumahan yang orientasinya belum ke arah
pemasaran, sehingga aktivitas membatik hanya sebagai sambilan untuk mengisi
waktu luang. Kondisi serupa juga terjadi di wilayah lainnya seperti
Purbalingga, Cilacap, Banjarnegara. Bahkan di Cilacap ada desa pengrajin batik
yang sudah tak ada lagi aktivitas membatik, tepatnya di Desa Klumprit,
Nusawungu. Mungkin kondisi yang lebih baik ada di daerah Banyumas sendiri. Sentra
batik di Banyumas tersebar di beberapa titik seperti di daerah Mruyung,
Sokaraja, Baturraden, dan Kecamatan Banyumas sendiri.
Sebagai Kerajinan dan Tuntunan Hidup
Batik
sebagai salah satu kerajinan yang sangat indah memiliki keunggulan yang
bermacam-macam. Selain dijadikan sebagai sebuah hasil kerajinan batik juga bisa
dijadikan pedoman serta tuntunan hidup sehari-hari karena dalam selembar kain
batik tersirat berbagai makna yang dapat dijadikan petunjuk hidup bagaimana
manusia berbuat agar menjadi manusia yang unggul dibandingkan dengan manusia
lain.
Makna-makna
batik terkandung dari beraneka corak, warna, dan ornamen yang menghiasi batik
tersebut. Berbagai macam makna dan nilai dapat ditampilkan dari selembar kain
batik. Yang dapat diketahui oleh masyarakat awam adalah nilai keindahan atau
seni dari batik. Namun dalam sehelai kain batik yang indah itu juga tersirat
nilai-nilai kehidupan yang menjadikan manusia itu menjadi manusia yang baik dan
berbudi luhur. Bagaimana manusia menjadi baik, bahagia, jujur, arif-bijaksana,
adil dan sebagainya yang dapat menjadikan manusia itu dipandang baik bagi
kehidupan.
Keprihatinan
Sepertinya
batik belum menjadi perhatian serius dari berbagai pihak dan juga pemerintah
daerah. Itu terbukti hampir jarangnya pemerintah berpartisipasi dalam
pengembangan industri batik. Walaupun ada hanya sebatas pelatihan dan sedikit
bantuan modal usaha, namun setelah itu ditinggal begitu saja.
Saat
ini banyak perajin batik yang lebih memilih mencari pekerjaan lain yang lebih
menjanjikan untuk mencukupi hidupnya ketimbang membatik yang tidak mampu menjanjikan
keuntungan yang cukup, terlebih lagi bagi para perajinnya. Oleh karena itulah
banyak perajin batik yang menjadikan aktivitas membatik hanya sebagai kerjaan
sambilan untuk mengisi waktu senggang.
Keprihatinan
lain adalah mengenai makna dari batik dan motif-motifnya. Bahkan sejarah batik
di beberapa daerah tidak diketahui asal-usulnya. Padahal, dalam ragam motif
batik terkandung makna filosofis yang ingin ditampilkan lewat seni batik. Banyak
makna yang tersirat dari motif batik yang saat ini sudah tidak lagi dipahami
masyarakat, bahkan oleh para perajin batik sendiri.
Dari
segi penggunanya, saat ini masyarakat kurang tertarik untuk mengenakan batik.
Batik dinilai sebagai pakaian yang terlalu formal dan kaku sehingga pakaian
batik hanya digunakan pada acara-acara formal tertentu. Selain itu, batik
“identik” dengan orang tua dan dianggap tradisional. Kalangan muda saat ini
lebih tertarik dengan pakaian-pakaian modern yang bermerk. Distro lebih banyak
dikunjungi ketimbang toko batik. Kurangnya antusias dari kalangan masyarrakat
luas inilah yang menyebabkan industri batik seperti di wilayah Banyumas dan
sekitarnya mulai meredup.
Sudah
saatnya kita warisi tradisi batik ini, tidak hanya dari aspek pemakaian, tetapi
juga dari segi pembuatan dan penghayatan makna yang terkandung dari beragam
corak dan motif batik itu. Tidak perlu kita berlebihan dan sok nasionalis
ketika batik di klaim negara lain tanpa upaya kita melestarikannya. Dengan kita
mempelajari dan melestarikan, dengan sendirinya pula batik akan menjadi ciri
dan identitas bangsa Indonesia.
*Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi, FISIP Unsoed
Tidak ada komentar:
Posting Komentar