Bagi seorang wanita Jawa, kebaya
bukan hanya sebagai sebatas pakaian. Lebih dari itu kebaya juga menyimpan
sebuah filosofi tersendiri. Sebuah filosofi yang mengandung nilai-nilai
kehidupan. Keberadaan kebaya di Indonesia bukan hanya sebagai menjadi salah satu
jenis pakaian. Kebaya memiliki makna dan fungsi lebih dari itu. Bentuknya yang
sederhana bisa dikatakan sebagai wujud kesederhaan dari masyarakat Indonesia.
Nilai filosofi dari kebaya adalah kepatuhan, kehalusan, dan tindak tanduk
wanita yang harus serba lembut. Kebaya selalu identik dipasangkan dengan jarik
atau kain yang membebat tubuh. Kain yang membebat tubuh tersebut secara
langsung akan membuat siapapun wanita yang mengenakannya kesulitan untuk
bergerak dengan cepat. Itulah sebabnya mengapa wanita Jawa selalu identik
dengan pribadi yang lemah gemulai.
Menggenakan kebaya akan membuat wanita
yang mengenakannya berubah menjadi seorang wanita yang anggun dan mempunyai
kepribadian. Potongan kebaya yang mengikuti bentuk tubuh mau tidak mau akan
membuat wanita tersebut harus bisa menyesuaikan dan menjaga diri. Setagen yang berfungsi sebagai ikat pinggang, bentuknya
tak ubah seperti kain panjang yang berfungsi sebagai ikat pinggang. Namun
justru dari bentuknya yang panjang itulah nilai-nilai filosofi luhur ditanamkan,
merupakan symbol agar bersabar/jadilah manusia yang sabar, erat kaitannya
dengan peribahasa jawa “dowo ususe”
atau panjang ususnya yang berarti sabar.
Sekilas Tentang Kain
Batik dan Sejarahnya
Kata Batik berasal dari bahasa Jawa “amba”
yang berarti menulis dan “titik”. Kata batik merujuk pada kain dengan corak
yang dihasilkan oleh bahan “malam” (wax) yang diaplikasikan ke atas kain,
sehingga menahan masuknya bahan pewarna (dye), atau dalam Bahasa Inggrisnya
“wax-resist dyeing”(www.wikipedia.com). Batik
adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari
budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa
lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian,
sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan
sampai ditemukannya “Batik Cap” yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam
bidang ini.
Tradisi falsafah Jawa yang mengutamakan
pengolahan jati diri melalui praktek-praktek meditasi dan mistik dalam mencapai
kemuliaan adalah satu sumber utama penciptaan corak-corak batik tersebut selain
pengabdian sepenuhnya kepada kekuasaan raja. Motif-motif batik tidak sekedar
gambar atau ilustrasi saja namun motif-motif batik tersebut dapat dikatakan
ingin menyampaikan pesan, karena motif-motif tersebut tidak terlepas dari
pandangan hidup pembuatnya, dan lagi pemberian nama terhadap motif-motif
tersebut berkaitan dengan suatu harapan.
Sejarah pembatikan di Indonesia berkait
erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di
Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada
masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.
Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan
Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun
mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya
suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang
dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap
dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun
kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di
Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan
ekonomi oleh tokoh-tokoh pedagang Muslim melawan perekonomian Belanda.
Kesenian batik adalah kesenian gambar di
atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja
Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja
dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh
karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian
batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya
masing-masing. Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan
selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk
mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga
kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria.
Batik Motif Khas Jawa
Tengah (Solo & Yogyakarta)
Dari kerjaan-kerajaan di Solo
dan Yogyakarta sekitamya abad 17,18 dan 19, batik kemudian berkembang luas,
khususnya di wilayah Pulau Jawa. Awalnya batik hanya sekadar hobi dari para
keluarga raja di dalam berhias lewat pakaian. Batik Solo terkenal dengan corak
dan pola tradisionalnya batik dalam proses cap maupun dalam batik tulisnya. Tradisi
membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang
kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa
motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini,
beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta
dan Surakarta.
Motif-motif
batik Yogya-Solo dan filosofinya antara lain adalah sebagai berikut :
1.
Truntum/trutul
Motif ini melambangkan cinta yang bersemi
kembali. Dalam pemakaianya motif ini melambangkan orang tua yang menuntun
anaknya dalam upacara pernikahan sebagai pintu menjalankan kehidupan baru yaitu
kehidupan rumah tangga yang sarat godaan. Diharapkan motif ini akan menjadikan kehidupan pernikahan
menjadi langgeng diwarnai kasih sayang yang selalu bersemi. Kegunaan batik Truntum/trutul: Untuk orang tua
pengantin pada waktu upacara panggih. Filosofi batik Truntum: Truntum berarti menuntun,
sebagai orang tua berkewajiban menuntun kedua mempelai memasuki hidup baru atau
berumah tangga yang banyak liku-likunya.
2.
Wahyu Tumurun
Filosofi Wahyu Tumurun
: Wahyu berarti anugerah,
temurun berarti turun, dengan menggunakan kain ini diharapkan mendapatkan
anugerah dari yang Maha Kuasa berupa kehidupan yang bahagia dan sejahtera serta
mendapat petunjukNya.
3.
Sido Luhur
Motif
Sida Luhur (dibaca Sido Luhur) bermakna harapan untuk mencapai kedudukan yang
tinggi, dan dapat menjadi panutan masyarakat. Bagi orang Jawa, hidup memang
untuk mencari keluhuran materi dan non materi. Keluhuran materi artinya bisa
tercukupi segala kebutuhan ragawi dengan bekerja keras sesuai dengan jabatan,
pangkat, derajat, maupun profesinya. Sementara keluhuran budi, ucapan, dan
tindakan adalah bentuk keluhuran non materi. Orang yang bisa dipercaya oleh
orang lain, atau perkataannya sangat bermanfaat kepada orang lain tentu itu
akan lebih baik daripada perkataannya tidak bisa dipegang orang lain dan tidak
dipercaya orang lain. Orang yang sudah bisa dipercaya oleh orang lain adalah
suatu bentuk keluhuran non materi. Orang Jawa sangat berharap hidupnya kelak
dapat mencapai hidup yang penuh dengan nilai keluhuran.
4.
Sido Mukti
Motif-motif berawalan sida (dibaca sido)
merupakan golongan motif yang banyak dibuat para pembatik. Kata “sida” sendiri
berarti jadi/ menjadi/terlaksana. Dengan demikian, motif-motif berawalan “sida”
mengandung harapan agar apa yang diinginkan bisa tercapai. Salah satunya adalah sida mukti, yang mengandung harapan
untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin.
5.
Buntal
Filosofi batik dengan motif buntal adalah
semangat persatuan dan kesatuan. Karena dahulu merupakan jaman perang melawan
penjajah, pesan yang ingin disampaikan dalam motif ini adalah kuatkan barisan
jangan sampai tercerai berai. Selalu komunikasi antar kelompok satu dengan yang
lainnya.
6.
Parang Barong
Ada juga yang memaknai bahwa motif batik ini berasal dari kata “batu karang”
dan “barong” (singa). Parang Barong merupakan parang yang paling besar dan
agung, dan karena kesakralan filosofinya motif ini hanya boleh digunakan untuk
Raja, terutama dikenakan pada saat ritual keagamaan dan meditasi. Ada juga yang
memaknai bahwa parang berasal dari senjata seperti golok panjang.
Kata barong berarti
sesuatu yang besar, dan ini tercermin pada besarnya ukuran motif tersebut pada
kain. Motif Parang Rusak Barong ini merupakan induk dari semua motif parang.
Motif ini mempunyai makna agar seorang raja selalu hati-hati dan dapat
mengendalikan diri. Motif ini diciptakan
Sultan Agung Hanyakrakusuma yang ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya
sebagai raja dengan segala tugas kewajibannya, dan kesadaran sebagai seorang
manusia yang kecil di hadapan Sang Maha Pencipta.
7.
Parang Rusak
Selain parang barong, jenis motif parang lainnya
adalah Parang Rusak. Motif ini hanya digunakan oleh para bangsawan pada masa dahulu untuk
upacara-upacara kenegaraan di lingkungan kraton. Motif ini sampai sekarang masih tetap terjaga. Pada
jaman dahulu, Parang Rusak biasanya digunakan prajurit setelah perang, untuk
memberitahu Raja bahwa mereka telah memenangkan peperangan. Menurut Koeswadji, sesuai dengan arti kata,
Parang Rusak mempunyai arti perang atau menyingkirkan segala yang rusak, atau
melawan segala macam godaan. Motif ini mengajarkan agar sebagai manusia
mempunyai watak dan perilaku yang berbudi luhur sehingga dapat mengendalikan
segala godaan dan nafsu.
*) dalam rangka memenuhi tugas komunikasi tradisional di smt 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar