Dengan komunikasi kita bisa membangun masyarakat atau komuniti yang diidamkan. Karenanya, komuniti mengandaikan komunikasi.Komunikasi mengandaikan interaksi. Inti komunikasi adalah berbagi.
Lewat komunikasi, makna dan pengertian tentang sesuatu kita bangun dan sepakati bersama. Dengan komunikasi,manusia tumbuh menjadi makhluk budaya. Revolusi komunikasi mutakhir telah mengubah sarana, cara, dan gaya manusia dalam berkomunikasi. Bahasa telegram pra-80-an berbeda dengan bahasa SMS pasca- 90-an. Bahasa ngebrik di udara dan bahasa chatting di dunia maya jelas berbeda.Pesan cinta ‘generasi net’ jelas dikemas berbeda dengan generasi sebelumnya.
Lewat komunikasi, makna dan pengertian tentang sesuatu kita bangun dan sepakati bersama. Dengan komunikasi,manusia tumbuh menjadi makhluk budaya. Revolusi komunikasi mutakhir telah mengubah sarana, cara, dan gaya manusia dalam berkomunikasi. Bahasa telegram pra-80-an berbeda dengan bahasa SMS pasca- 90-an. Bahasa ngebrik di udara dan bahasa chatting di dunia maya jelas berbeda.Pesan cinta ‘generasi net’ jelas dikemas berbeda dengan generasi sebelumnya.
Yang sama adalah: ada sesuatu yang hendak dibagi dan disampaikan. Perkembangan teknologi mutakhir tak pelak telah mengubah banyak dimensi kehidupan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Salah satu aspek yang begitu masif mengalami perubahan terkait dengan informasi dan komunikasi adalah penggunaan internet dan telepon seluler (HP). Media internet berkembang pesat dan penggunanya setiap hari mengalami lonjakan yang fenomenal. Pada 20 Maret 2009,Yahoo dan TNS meluncurkan hasil studi mereka tentang pemakai internet dan kebiasaan penggunanya.
Studi tersebut mengumumkan beberapa poin penting: Sekitar satu dari tiga orang perkotaan di Indonesia mengakses internet dalam satu bulan terakhir; Penetrasi internet pada segmen penduduk usia 15-19 tahun cukup tinggi. 64% dari mereka menggunakan internet dalam satu bulan terakhir; Penggunaan internet tidak hanya terbatas di kota- kota besar, tapi juga menyebar ke kota-kota kecil; Warnet paling sering digunakan untuk mengakses internet. 83% dari pengguna online menggunakan warnet dalam satu bulan terakhir; dan Enam dari sepuluh pengguna internet mengunjungi situs jaringan sosial setiap bulannya.
Produk dan penggunaan HP juga memperlihatkan fenomena yang mencengangkan. Meski tak ada angka pasti yang menunjukkan perkembangan ini,pemakaian HP kini sudah menyebar ke berbagai penjuru tanah air dan penggunaannya meningkat fantastis di kalangan anak-anak dan remaja. Bisnis HP bahkan sudah menyamai bisnis warung kopi. Ia dijajakan di bis-bis kota dan digunakan tukang ojek dan pedagang kaki lima.Ia tak lagi eksklusif milik satu lapis kelas tertentu.
“Sense of Community”
Mengapa kita merasa perlu memperbarui terus-menerus cara dan sarana komunikasi kita? Jawabannya beragam.Yang pasti, manusia membutuhkan sense of community agar bisa saling berbagi. Dengan berbagi, tumbuh rasa ikatan.
Dengan rasa ikatan, kesadaran akan harapan muncul.Manusia membutuhkan harapan, dengan harapan ia ingin merangkul masa depan.Dengan bayangan masa depan yang diidamkan ia menjalani kehidupan dengan bermakna. Sebutlah, misalnya, kegandrungan orang sekarang dengan media sosial seperti facebook (fb), sesungguhnya tak bisa dipisahkan dari pergeseran selera sebuah generasi yang disebut oleh Don Tapscott (2009) sebagai “the next generation”,atau oleh John Palfrey dan Urs Gasser (2008) sebagai “digital natives”.
Tapscott berbicara tentang bagaimana ‘generasi net’ sedang mengubah dunia kaum muda mutakhir.Terutama cara mereka bergaul dan berkomunikasi. Menurut Tapscott, ‘generasi next’ adalah ‘generasi net’. Palfrey dan Gasser menyoroti generasi yang lahir pasca-80-an,ketika teknologi digital sosial, seperti Usenet dan bulletin board systems,mulai muncul secara online.Generasi baru ini semuanya punya akses terhadap teknologi digital berjaringan.Dan mereka semua punya skill menggunakannya. Tak heran munculnya media baru seperti fb dipandang sebagai tanda hidupnya media sosial baru. Ia diyakini bisa membangun “kapital sosial” bagi generasi net.
Modal hidup bersama dalam masyarakat madani yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadaban. Bukankah di dalamnya, juga ada proses “deliberasi”? Proses perbincangan, dialog, diskusi, dan berbagi. Singkatnya, ada proses komunikasi timbal-balik di sana. Dengan komunikasi itulah manusia tumbuh “dari kepompong menjadi kupu-kupu”kehidupan. Memang, penggunaan fb bisa jadi hanya mengalihkan kebiasaan lama masyarakat kita.Katakanlah kebiasaan dari tradisi lisan dalam masyarakat tradisional ke dalam masyarakat informasi.
Kebiasaan kelakar atau ngerumpi sehari-hari kalau sebelumnya dilakukan di arisan atau warung kopi, kini disalurkan via telepon seluler atau acara gosip di televisi, dan disediakan amat memikat via fb. Fb juga bisa menjadi cermin bangkitnya budaya narsis di kalangan tertentu, untuk meminjam istilah Christopher Lasch, penulis The Culture of Narcissism. Namun perlu juga dicatat bahwa salah satu keunggulan media alternatif dalam kapasitasnya untuk membangun sense of community adalah karena ia tumbuh dari bawah (from below), bukan dipaksakan dari atas (from above).
Ia membangun dukungan spontan dan sukarela para anggotanya serta menciptakan solidaritas bagi komunitasnya. Tak heran, ia menjadi bentuk baru egalitarianisme dalam komunikasi.Ia melawan feodalisme dalam komunikasi.Sentralisme pesan yang terpusat sekarang menjadi tersebar. Sekat hierarki dan batas-batas yang menghalangi kesetaraan posisi pelaku komunikasi dijebol dengan bahasa dan simbol yang dikonstruksi bersama sesuai dengan selera generasi baru. Bukan makna pesan komunikasi yang dicari oleh generasi baru ini, tapi kehadiranlah yang diutamakan: Makna ‘kehadiran’ dalam ‘komunitas gaul’.
Bukan kualitas pesan yang dipentingkan,tapi kesanlah yang ingin diciptakan. Kesan bahwa kita adalah ‘orang yang suka gaul’. Sebagai forum publik alternatif, media sosial baru diyakini bisa membuka ruang dialog, diskusi, dan partisipasi dari sebanyak mungkin warga (civic engagement). Ia menjadi modal untuk membangun ‘masyarakat jaringan’, terutama kalau kita ingin tetap eksis dalam ‘sebuah era terkoneksi’ (‘a connected age’),suatu ‘jaringan manusia’ (‘human web’), atau suatu ‘masyarakat jaringan’ (‘web society’).
“Masyarakat Ketik Reg”
Teknologi informasi/komunikasi baru juga menciptakan kontradiksi. Media baru,misalnya,mengajarkan budaya konsumsi.Apalagi kini bisnis chatting, sms, ketik reg telah menjadi bisnis multi-miliar rupiah.Ada rupiah di balik setiap komunikasi yang dilakukan. Sambil duduk saja anak muda sekarang bisa menghabiskan puluhan ribu pulsa HP-nya hanya dalam beberapa menit.
Orangtua generasi 90-an harus selalu menyediakan anggaran komunikasi bagi anak yang dicintainya. Siapa yang tak bangga punya anak di TK yang sudah tangkas menggunakan HP dan anak di SMP yang sudah piawai memainkan laptop? Berapa jam sehari anak-anak sekarang nongkrong di warnet atau di depan pesawat televisi? Informasi apa yang mereka cari dan dapatkan? Kontradiksi lain, kini nyaris setiap hari kita tak berdaya menolak kiriman SMS berisi iklan “ketik reg”.
Mereka yang mengaku ahliahli di bidang jodoh dan cinta,kerja dan nasib, penghasilan dan pengharapan, hidup dan mati,bahkan surga dan neraka tak henti menawarkan penyelesaian cesplang atas problema hidup. Setiap persolan hidup dianggap bisa diselesaikan hanya dengan ketik reg. Masyarakat ketik reg adalah contoh paling telanjang untuk memahami apa yang disebut para pemikir budaya mutakhir sebagai bentuk “komersialisasi budaya” atau “kolonisasi kesadaran”dalam ruang publik. Iklan yang irasional memborbardir kita dalam jarak terdekat, sedekat telinga dengan HP kita.
Ketika konsumsi HP tak berbeda dengan konsumsi permen, penggunaan alat komunikasi lebih dari sekadar pernyataan eksistensi atau identitas “generasi net”. Ia menjadi alat pementasan gaya hidup yang trendi. Saya bertanya-tanya, apakah ‘komunitas virtual’ yang terbentuk dalam belantara Internet,misalnya, telah menjadi tempat bagi terbentuknya apa yang disebut David Riesman sebagai the lonely crowd,kerumunan yang teralienasi? Saya harap saya keliru. Memang kegandrungan orang akan produk teknologi baru sering tak banyak berbeda seperti trend fesyen dan gaya hidup.Mungkin dengan begitu kehidupandirasatetapselalutrendi!
Yang pasti, dari penggunaan dan gaya orang memanfaatkan internet dan HP, kita bisa melihat sejauh mana tingkat kematangan orang tersebut. Karena cara penggunaan teknologi informasi/komunikasi dan budaya komunikasi sebuah bangsa,juga akan menunjukkan sejauh mana kemajuan peradaban bangsa tersebut (*)
IDI SUBANDY IBRAHIM
Peneliti pada Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP)
Studi tersebut mengumumkan beberapa poin penting: Sekitar satu dari tiga orang perkotaan di Indonesia mengakses internet dalam satu bulan terakhir; Penetrasi internet pada segmen penduduk usia 15-19 tahun cukup tinggi. 64% dari mereka menggunakan internet dalam satu bulan terakhir; Penggunaan internet tidak hanya terbatas di kota- kota besar, tapi juga menyebar ke kota-kota kecil; Warnet paling sering digunakan untuk mengakses internet. 83% dari pengguna online menggunakan warnet dalam satu bulan terakhir; dan Enam dari sepuluh pengguna internet mengunjungi situs jaringan sosial setiap bulannya.
Produk dan penggunaan HP juga memperlihatkan fenomena yang mencengangkan. Meski tak ada angka pasti yang menunjukkan perkembangan ini,pemakaian HP kini sudah menyebar ke berbagai penjuru tanah air dan penggunaannya meningkat fantastis di kalangan anak-anak dan remaja. Bisnis HP bahkan sudah menyamai bisnis warung kopi. Ia dijajakan di bis-bis kota dan digunakan tukang ojek dan pedagang kaki lima.Ia tak lagi eksklusif milik satu lapis kelas tertentu.
“Sense of Community”
Mengapa kita merasa perlu memperbarui terus-menerus cara dan sarana komunikasi kita? Jawabannya beragam.Yang pasti, manusia membutuhkan sense of community agar bisa saling berbagi. Dengan berbagi, tumbuh rasa ikatan.
Dengan rasa ikatan, kesadaran akan harapan muncul.Manusia membutuhkan harapan, dengan harapan ia ingin merangkul masa depan.Dengan bayangan masa depan yang diidamkan ia menjalani kehidupan dengan bermakna. Sebutlah, misalnya, kegandrungan orang sekarang dengan media sosial seperti facebook (fb), sesungguhnya tak bisa dipisahkan dari pergeseran selera sebuah generasi yang disebut oleh Don Tapscott (2009) sebagai “the next generation”,atau oleh John Palfrey dan Urs Gasser (2008) sebagai “digital natives”.
Tapscott berbicara tentang bagaimana ‘generasi net’ sedang mengubah dunia kaum muda mutakhir.Terutama cara mereka bergaul dan berkomunikasi. Menurut Tapscott, ‘generasi next’ adalah ‘generasi net’. Palfrey dan Gasser menyoroti generasi yang lahir pasca-80-an,ketika teknologi digital sosial, seperti Usenet dan bulletin board systems,mulai muncul secara online.Generasi baru ini semuanya punya akses terhadap teknologi digital berjaringan.Dan mereka semua punya skill menggunakannya. Tak heran munculnya media baru seperti fb dipandang sebagai tanda hidupnya media sosial baru. Ia diyakini bisa membangun “kapital sosial” bagi generasi net.
Modal hidup bersama dalam masyarakat madani yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadaban. Bukankah di dalamnya, juga ada proses “deliberasi”? Proses perbincangan, dialog, diskusi, dan berbagi. Singkatnya, ada proses komunikasi timbal-balik di sana. Dengan komunikasi itulah manusia tumbuh “dari kepompong menjadi kupu-kupu”kehidupan. Memang, penggunaan fb bisa jadi hanya mengalihkan kebiasaan lama masyarakat kita.Katakanlah kebiasaan dari tradisi lisan dalam masyarakat tradisional ke dalam masyarakat informasi.
Kebiasaan kelakar atau ngerumpi sehari-hari kalau sebelumnya dilakukan di arisan atau warung kopi, kini disalurkan via telepon seluler atau acara gosip di televisi, dan disediakan amat memikat via fb. Fb juga bisa menjadi cermin bangkitnya budaya narsis di kalangan tertentu, untuk meminjam istilah Christopher Lasch, penulis The Culture of Narcissism. Namun perlu juga dicatat bahwa salah satu keunggulan media alternatif dalam kapasitasnya untuk membangun sense of community adalah karena ia tumbuh dari bawah (from below), bukan dipaksakan dari atas (from above).
Ia membangun dukungan spontan dan sukarela para anggotanya serta menciptakan solidaritas bagi komunitasnya. Tak heran, ia menjadi bentuk baru egalitarianisme dalam komunikasi.Ia melawan feodalisme dalam komunikasi.Sentralisme pesan yang terpusat sekarang menjadi tersebar. Sekat hierarki dan batas-batas yang menghalangi kesetaraan posisi pelaku komunikasi dijebol dengan bahasa dan simbol yang dikonstruksi bersama sesuai dengan selera generasi baru. Bukan makna pesan komunikasi yang dicari oleh generasi baru ini, tapi kehadiranlah yang diutamakan: Makna ‘kehadiran’ dalam ‘komunitas gaul’.
Bukan kualitas pesan yang dipentingkan,tapi kesanlah yang ingin diciptakan. Kesan bahwa kita adalah ‘orang yang suka gaul’. Sebagai forum publik alternatif, media sosial baru diyakini bisa membuka ruang dialog, diskusi, dan partisipasi dari sebanyak mungkin warga (civic engagement). Ia menjadi modal untuk membangun ‘masyarakat jaringan’, terutama kalau kita ingin tetap eksis dalam ‘sebuah era terkoneksi’ (‘a connected age’),suatu ‘jaringan manusia’ (‘human web’), atau suatu ‘masyarakat jaringan’ (‘web society’).
“Masyarakat Ketik Reg”
Teknologi informasi/komunikasi baru juga menciptakan kontradiksi. Media baru,misalnya,mengajarkan budaya konsumsi.Apalagi kini bisnis chatting, sms, ketik reg telah menjadi bisnis multi-miliar rupiah.Ada rupiah di balik setiap komunikasi yang dilakukan. Sambil duduk saja anak muda sekarang bisa menghabiskan puluhan ribu pulsa HP-nya hanya dalam beberapa menit.
Orangtua generasi 90-an harus selalu menyediakan anggaran komunikasi bagi anak yang dicintainya. Siapa yang tak bangga punya anak di TK yang sudah tangkas menggunakan HP dan anak di SMP yang sudah piawai memainkan laptop? Berapa jam sehari anak-anak sekarang nongkrong di warnet atau di depan pesawat televisi? Informasi apa yang mereka cari dan dapatkan? Kontradiksi lain, kini nyaris setiap hari kita tak berdaya menolak kiriman SMS berisi iklan “ketik reg”.
Mereka yang mengaku ahliahli di bidang jodoh dan cinta,kerja dan nasib, penghasilan dan pengharapan, hidup dan mati,bahkan surga dan neraka tak henti menawarkan penyelesaian cesplang atas problema hidup. Setiap persolan hidup dianggap bisa diselesaikan hanya dengan ketik reg. Masyarakat ketik reg adalah contoh paling telanjang untuk memahami apa yang disebut para pemikir budaya mutakhir sebagai bentuk “komersialisasi budaya” atau “kolonisasi kesadaran”dalam ruang publik. Iklan yang irasional memborbardir kita dalam jarak terdekat, sedekat telinga dengan HP kita.
Ketika konsumsi HP tak berbeda dengan konsumsi permen, penggunaan alat komunikasi lebih dari sekadar pernyataan eksistensi atau identitas “generasi net”. Ia menjadi alat pementasan gaya hidup yang trendi. Saya bertanya-tanya, apakah ‘komunitas virtual’ yang terbentuk dalam belantara Internet,misalnya, telah menjadi tempat bagi terbentuknya apa yang disebut David Riesman sebagai the lonely crowd,kerumunan yang teralienasi? Saya harap saya keliru. Memang kegandrungan orang akan produk teknologi baru sering tak banyak berbeda seperti trend fesyen dan gaya hidup.Mungkin dengan begitu kehidupandirasatetapselalutrendi!
Yang pasti, dari penggunaan dan gaya orang memanfaatkan internet dan HP, kita bisa melihat sejauh mana tingkat kematangan orang tersebut. Karena cara penggunaan teknologi informasi/komunikasi dan budaya komunikasi sebuah bangsa,juga akan menunjukkan sejauh mana kemajuan peradaban bangsa tersebut (*)
IDI SUBANDY IBRAHIM
Peneliti pada Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar