Kepribadian
dan sifat-sifat anak terungkap dalam mekanisme hidup dalam keluarga. Karena
keluarga merupakan faktor penentu, maka komunikasi keluarga yang efektif tidak
hanya menyangkut berapa kali komunikasi dilakukan, melainkan bagaimana
komunikasi itu dilakukan. Faktor internal atau keluarga memiliki peran yang
penting terhadap pembentukan orientasi seksual pada anak. Hal ini karena
keluarga merupakan orang-orang yang memiliki keterikatan emosi dan keterikatan
darah serta hubungan yang paling dekat. Jika anak mengenal seksualitas bukan
dari orang terdekat (keluarga/orang tua) maka besar kemungkinan orientasi
seksual yang terbentuk akan kurang sempurna atau bahkan terjadi disorientasi
seksual pada anak.
Keluarga
menjadi institusi yang berperan penting untuk menghasilkan individu yang
kompeten dalam menjalani kehidupannya. Selain itu, keluarga juga merupakan bagian
dari masyarakat luas dan berinteraksi dengan lingkungan sosial lain. Akibatnya,
kondisi keluarga banyak dipengaruhi pula oleh kondisi lingkungan luar. Pengaruh
lingkungan masyarakat bagi keluarga juga bisa melalui media, seperti halnya televisi,
internet, hingga media cetak. Pengaruh televisi, internet, terhadap perilaku
suksual sangatlah intens. Kondisi eksternal tersebut akan memberikan pengaruh
yang tidak langsung terhadap lingkungan keluarga melalui sikap orang tua, pola
asuh, atau kondisi ekonomi keluarga. Dalam hal ini, stabilitas kondisi keluarga
sangat dibutuhkan untuk mengembangkan penyesuaian diri yang baik. Dengan
demikian, dalam keluargalah ditanamkan dasar-dasar nilai dan norma pada anak
sebelum anak melangkah ke lingkungan sosial yang lebih luas.
Peran
orang tua sangat penting dalam membentuk kepribadian anak, tak terkecuali dalam
hal orientasi seksual. Orientasi seksual dapat dipengaruhi oleh faktor internal
dan faktor eksternal. Yang dimaksud faktor internal di sini adalah keluarga,
khususnya orang tua. Kondisi dan situasi dalam rumah cenderung mempengaruhi
psikis pada anak. Jika anak sudah tidak bisa lagi merasakan kenyamanan dalam
rumah, maka anak akan mencari lingkungan yang dapat membuatnya nyaman, akhirnya
anak lebih suka berbagi cerita dan bergaul di luar rumah tanpa pengawasan orang
tua. Misalnya saja setiap hari anak melihat pertengkaran orang tua di dalam
rumah, melihat kejadian-kejadian buruk yang menimpa ibunya karena kekerasan
dalam rumah tangga. Hal tersebut dapat mengakibatkan anak trauma dan mencari
orang luar yang dapat membuatnya nyaman, tak peduli sesama jenis kelamin atau
bukan. Mungkin dengan demikian anak bisa
merasa aman dan nyaman. Namun resiko dibalik itu adalah yang pada awalnya hanya
merasa nyaman lalu tumbuh menjadi rasa ketertarikan, bahkan cinta. Akhirnya
pada usia remaja anak bisa mengalami disorientasi seksual. Selain itu,
intensitas dan kualitas komunikasi yang kurang dalam keluarga juga dapat
berdampak buruk bagi perkembangan anak.
“Orang
tua yang gagal memberi rasa sayang dan cinta kasih serta perhatian kepada
anaknya, akan menimbulkan kegusaran, kebencian, pemarah, rasa tidak aman dan
menciptakan suasana yang membuat anak tidak kerasan tinggal di rumahnya”
(Komala,2005:19)
Realitas
yang sering terjadi belakangan ini adalah semakin banyak pihak yang mulai
meragukan akan pentingnya peran keluarga. Karena kesibukannya, orang tua jarang
mempunyai cukup waktu untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya. Mereka
mempercayakan pendidikan dan pembinaan anak-anaknya pada institusi lain yang
mulai menjamur di masyarakat belakangan ini. Fungsi pendidikan, keagamaan,
kesehatan, keamanan, dan lain sebagainya yang sebenarnya adalah tanggung jawab
keluarga diambil alih oleh berbagai institusi di masyarakat.