Oleh: Innas Rizky Afria
Indonesia merupakan negara yang kompleks. Dari aspek sosial, budaya, ekonomi, Indonesia memiliki potensi dan keanekaragaman. Karena keragaman dan kompleksnya kondisi yang ada, menyebabkan begitu kompleks juga permasalahan yang dihadapinya. Namun, dengan berbagai macam permasalahan yang harus dihadapi, bukan berarti Indonesia tidak bisa bangkit dari kondisi yang amburadul seperti saat ini. Di tengah permasalahan yang semakin kompleks, Indonesia tetap memilki harapan untuk menjadi negara yang diharapkan rakyatnya.
Keragaman Indonesia merupakan suatu keniscayaan. Keragaman budaya, hayati, alam dan sosial-ekonomi. Keragaman ini merupakan salah satu kekuatan bangsa Indonesia. Bayangkan kita berada dalam sebuah komunitas dimana setiap orang dan kelompok menyumbangkan kekuatan masing-masing untuk menciptakan kedamaian kehidupan bersama. Setiap orang dan kelompok bekerja bersama mensinergikan setiap keunikan yang dimiliki. Setiap orang menciptakan keadaan yang sejahtera dan manusiawi dengan kreativitas masing-masing. Sebuah bayangan yang diimpikan oleh bangsa Indonesia. Sayangnya, Indonesia yang diimajinasikan oleh para founding father sering tersandung karang terjal. Indonesia sebagai sebuah semangat menggelora diawal kemerdekaan mengalami badai yang berkelanjutan. Sampai akhirnya, bangsa Indonesia berada pada krisis multidimensi yang berkelanjutan.
Begitu banyaknya potensi dan keragaman yang dimiliki menyebabkan banyak pula kendala dan masalah yang akan terjadi jika potensi dan keragaman itu tidak mampu dikelola dengan baik. Memang kenyataan yang ada saat ini, SDM di Indonesia belum bisa mengelola potensi maupun keragaman tersebut dengan baik.
a. Aspek Ekonomi
Pada aspek ekonomi, kemiskinan hingga saat ini masih menjadi isu global dan masalah sosial yang paling dominan terutama bagi negara-negara dunia ketiga. Hampir di semua negara berkembang, hanya 10%, 20%, atau paling banyak 30% masyarakat yang dapat menikmati hasil pembangunan. Sisanya, mayoritas masyarakatnya hidup tak berdaya. Sebagai negara dunia ketiga, Indonesia juga mengalami hal yang serupa.
Jumlah masyarakat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2006 ini sebesar 17,75% dari total penduduk Indonesia (BPS, 2006). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada tahun 2005 yang mencapai 15,97%, berarti jumah penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta jiwa. Hal ini belum termasuk dengan jumlah penduduk yang masuk dalam kategori miskin sementara (transient poor) yang cukup besar. Transient poor merupakan penduduk yang penghasilannya dekat dengan garis kemiskinan. Output secara kuantitatif, pada akhir tahun 1960-an lebih dari 60% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, dan pada tahun 1996 menjadi sekitar 12 persen dari total penduduk Indonesia.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997 mengakibatkan jumlah orang miskin naik drastis menjadi 79,4 juta jiwa, terdiri dari 21,6 juta jiwa penduduk kota dan 56,8 juta jiwa penduduk desa. Angka ini kemudian pada tahun 2005 menurun menjadi 35,10 juta jiwa dan kemudian meningkat lagi di tahun 2006. Data tersebut di atas menunjukkan bahwa ketahanan masyarakat terhadap kemiskinan cenderung labil, walaupun berbagai kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan telah diterapkan. Sedangkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 2009, penduduk miskin pada Maret 2009 yang berjumlah 32,53 juta (14,15%) (Berita Resmi Statistik, BPS, No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009).
Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan sebuah cita-cita yaitu :
“…..Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum….”.
Sudah sepatutnya apabila visi pengentasan kemiskinan diubah menjadi penciptaan kesejahteraan. Visi ini akan mengalihkan fokus program secara menyeluruh. Bukannya, mencari persoalan tetapi mencari kisah sukses yang terjadi dalam suatu komunitas.
Ternyata semua pendekatan pembangunan tak mampu mensejahterakan rakyat di Negara Dunia Ketiga seperti Indonesia. Sebaliknya, pembangunan telah membawa dampak negatif khususnya bagi negara dunia ketiga tersebut. Diantaranya teori pertumbuhan dan modernisasi (pembangunan) telah melanggengkan pengangguran, menghasilkan ketimpangan pemerataan, dan menambah angka kemiskinan absolut, serta dampak lainnya. Namun teori ini hanya berhasil menaikkan pertumbuhan GNP (Fakih, 2001).
Kondisi ini sangat kontras jika dibandingkan dengan potensi sumberdaya alam Indonesia yang melimpah. Dengan potensi sumberdaya alam yang melimpah, seharusnya masalah ekonomi dan kemiskinan ini mampu teratasi. Permasalahannya adalah sumberdaya alam itu dikelola oleh perusahaan asing, dan sebagian besar keuntungan dari eksploitasi sumberdaya diangkut ke Negara lain. Dengan demikian, untuk dapat mengentaskan persoalan ekonomi, termasuk masalah kemiskinan, seharusnya pemerintah berani menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang mengelola sumberdaya alam bangsa ini. Kekayaan alam negeri ini harus dikelola dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia seperti amanat dalam Undang-undang Dasar 1945.
Selain itu, atas alasan efisiensi anggaran, perlu alokasi anggaran dalam APBN dengan memprioritaskan kebutuhan rakyat, bukan untuk kepentingan para pejabat Negara. Lebih baik anggaran diprioritaskan untuk penyediaan lapangan pekerjaan, karena saat ini jumlah pengangguran semakin meningkat. Selain itu, untuk menghambat jumlah penduduk yang akan berdampak pada meningkatnya angka kemiskinan, maka perlu ada upaya untuk menekan angka kelahiran.
b. Aspek Sosial Politik
Dalam sebuah negara yang demokratis atau setidaknya dalam proses menuju demokrasi, adalah hak setiap warga negaranya untuk aktif dalam kancah perpolitikan. Rakyat memiliki hak untuk bebas memilih dan dipilih dalam pesta demokrasi. Seperti kita ketahui bahwa negara kita ini sedang menginjak demokratisasi pasca runtuhnya rezim orde baru. Pasca keruntuhan orde otoriter, mulai didengungkan sebuah “mahluk asing” bagi rakyat Indonesia yang—selama kurang lebih tiga puluh dua tahun dalam “penjara” orde baru—yaitu bernama reformasi.
Dengan hadirnya reformasi diharapkan menjadi sebuah gerbang kemerdekaan individu. Rakyat mulai bebas menyatakan aspirasi, kritik, dan saran kepada pemerintah atau publik. Media massa mulai bebas dalam menyiarkan berita tanpa harus ada tekanan dari pihak manapun. Dengan adanya reformasi dan transisi demokrasi, setidaknya mulai ada kontrol sosial terhadap kinerja pemerintah secara transparan.
Masalah yang kemudian timbul adalah timbulnya euforia politik. Semua menyatakan hak dalam segala tindakan. Seolah semua boleh dilakukan dengan menafikan aspek lain. Adalah wajar bila hal itu terjadi pada masyarakat Indonesia yang selama puluhan tahun tidak diberi pendidikan politik. Karena pada puluhan tahun tersebut mereka tidak pernah tahu dan tidak boleh tahu urusan politik sehingga dampak yang timbul adalah kekacauan yang mengatasnamakan demokrasi.
Pada tataran yang lebih tinggi, mulai timbul masalah pada kinerja pemerintah baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. Karena Negara ini menganut sistem perwakilan, maka yang memegang kedaulatan penuh adalah rakyat. Namun tidak mungkin jika seluruh rakyat yang menjalankan roda pemerintahan. Oleh karena itu keberadaan lembaga perwakilan merupakan institusi yang diciptakan sebagai representasi dari rakyat, karena rakyat sendiri yang telah memilih wakilnya untuk duduk dalam lembaga tersebut dan sebagai sarana untuk mengaspirasikan keinginan dan tuntutannya. Parlemen diharapkan menjadi wakil yang aktual dan obyektif dari aspirasi rakyat.
Pengalaman Pemilu 1999 merupakan contoh yang paling nyata dari adanya jarak antara gedung parlemen dengan kehendak rakyat. Inilah masalah dalam proses demokrasi yaitu adanya jarak atau kesenjangan antara institusi wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya. Hingga sekarangpun kesenjangan itu masih terlihat.
Belum lama ini rakyat dikejutkan oleh kenaikan harga BBM yang menyebabkan bertambahnya angka kemiskinan, putus sekolah, pangangguran dan sebagainya. Namun apa yang terjadi di gedung dewan, mereka malah menginginkan kenaikan gaji sebesar 74 persen. Padahal gaji anggota dewan (DPR) sudah sangat tinggi. Mereka seperti tidak mau tahu penderitaan rakyat. Mereka berdalih untuk meningkatkan kinerja. Tetapi apa yang kita lihat di sana, adalah sebuah kegiatan bermalas-malasan. Bahkan ada lelucon bagi anggota dewan, ketika jaman orde baru anggota dewan terkenal dengan selogan 4D (datang, duduk, diam, dan duit), tetapi sekarang adalah duit, duit, dan duit. Ini mencerminkan adanya demoralisasi.
Kegiatan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) kian marak dilakukan oleh pejabat baik di tingkatan lokal maupun pusat. Ini mengindikasikan buruknya pola rekruitmen wakil rakyat. Masalah pencalonan wakil yang akan duduk di dalam parlemen bukan semata masalah banyaknya dukungan massa tetapi juga masalah standar dan persyaratan wakil. Hal inilah yang menjadi salah pengertian oleh masyarakat. Masyarakat menganggap siapa saja boleh menjadi wakil rakyat tanpa harus terbentur dengan persyaratan. Padahal masalah standar dan persyaratan merupakan hal yang paling substansial. Adapun standar dan persayaratan tersebut menurut Robert A. Dahl, seorang ahli politk menyatakan adalah persayaratan moral, pengetahuan akan kebijakan dan kepentingan umum, serta keahlian teknis atau instrumental yang memadai terkait dengan kapabilitas sebagai terwakil.
Pemilu merupakan komponen penting dalam negara demokrasi yang menganut sistem perwakilan, sebab ia berfungsi sebagai alat penyaring bagi politikus-politikus yang akan mewakili dan membawa suara rakyat di dalam lembaga perwakilan. Mereka yang terpilih dalam Pemilu dianggap sebagai orang atau kelompok yang mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk berbicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar melalui Parpol (Budiardjo, 1982).
Pemilu juga sangat penting di negara demokrasi, karena dengan Pemilu rakyat telah memberi mandat secara prosedural dan sah kepada wakil-wakilnya untuk melaksanakan hak-hak demokratisnya sehingga arti demokrasi sebagai negara yang diperintah oleh rakyat dapat diimplementasikan melalui cara tertentu. Oleh karena begitu pentingnya Pemilu sebagai media rekruitmen wakil rakyat, maka untuk memperbaikinya tidak harus mengubah Sistem Pemilu (electoral laws), tetapi yang lebih penting adalah memperbaiki materi tentang proses Pemilu (electoral processes) agar Pemilu dapat berjalan lebih fair dan demokratis (Mahfud MD, 1999).
Reformasi telah membawa dampak yang luar bisa bagi perkembangan politik di Indonesia. Namun sayangnya di tangan Partai politik, reformasi seakan berhenti hanya menjadi sebuah retorika. Partai efektif hanya dalam memobilisasi massa saja, sehingga Nurcholis Madjid menyimpulkan bahwa parpol telah gagal memaknai reformasi. Bisa jadi politik Indonesia sekarang adalah politik partai-partai (Sofa Marwah, 2003). Banyak orang berbondong-bondong “ber-partai ria” dan menggalang dukungan massa untuk dapat memenangkan Pemilu dengan tujuan mendapatkan jabatan publik sebagai tujuan politik.
Masalah kebobrokan yang terjadi dalam kehidupan politik merupakan masalah rekruitmen, dan ini menjadi tanggung jawab partai politik yang mengusungnya selain proses Pemilu. Partai politik seharusnya mampu berfungsi sebagaimana mestinya. Partai politik memiliki tugas dalam memberi pendidikan politik pada masyarakat agar mereka tahu posisinya dalam kehidupan bernegara. Selain itu agar rakyat tahu bagaimana memberikan hak suaranya dalam Pemilu, karena ini berimplikasi pada akuntabilitas pemangku jabatan publik dalam pemerintahan baik legislatif maupun eksekutif. Sehingga orang yang dipilih adalah benar-benar orang yang berkualitas. Pada akhirnya akan tercipta parlemen yang kredibel dan pemimpin yang bijak serta memiliki visi misi untuk Indonesia.
c. Aspek Pendidikan dan Budaya
Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia ini dapat diukur melalui parameter pendidikan. Karena kualitas manusia dapat ditingkatkan melalui proses pendidikan, baik formal maupun nonformal. Walaupun pendidikan memiliki arti penting, namun di Indonesia tidak mendapatkan perhatian serius dari pihak pemerintah.
Tingginya biaya pendidikan berkualitas di Indonesia menjadikan banyak masyarakat yang menganggap pendidikan hingga jenjang tertinggi hanyalah sebuah mimpi belaka, terlebih bagi mereka yang terkatagori sebagai masyarakat kurang mampu. Ini dikarenakan kondisi masyarakat Indonesia sebagian besar miskin, sehingga masalah pendidikan dijadikan prioritas yang entah ke berapa. Yang ada dalam pikiran mereka adalah untuk dapat bertahan hidup pada hari itu.
Jika melihat sejarah pendidikan formal di Indonesia, dapat dilihat sejak diberlakukannya politik etis di Indonesia. Politik etis di bidang edukasi sebetulnya bertujuan menghasilkan tenaga administratif kelas menengah untuk melakukan fungsi-fungsi pemerintahan dan kepentingan bisnis Belanda di Indonesia. Bisa disimpulkan bahwa tujuan pendidikan saat itu tidak ada urusannya dengan kesejahteraan rakyat Indonesia. Bandingkan dengan kondisi pendidikan kita saat ini. Pendidikan nasional memiliki tujuan yang sangat-sangat mulia. Berikut ini kutipannya :
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (UU Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3).
Namun kenyataannya adalah bahwa amanat dalam undang-undang itu hanya semacam dongeng dan mitos belaka. Buktinya, setiap tahun ada segerombolan job seeker untuk memenuhi formasi PNS, BUMN atau perusahaan-perusahaan asing. Itulah kenapa Madura tetap miskin, Trenggalek tetap miskin, Lamongan tetap miskin, Jember tetap miskin. Belum lagi Papua, Aceh, yang kaya akan SDA tapi tetap miskin.
Meski alokasi dana untuk pendidikan mencapai 20%, namun dalam kenyataannya jumlah itu belum dilaksanakan sepenuhnya. Ini terbukti masih banyaknya ketimpangan antara sekolah di perkotaan dengan sekolah yang ada di pedesaan. Bahkan masih banyak juga sekolah di wilayah Jakarta yang kondisinya memperihatinkan dari segi fisik.
Saat ini pendidikan merupakan “barang” mewah yang tidak bisa dinikmati oleh semua kalangan. Ketika dahulu pendidikan hanya diperuntukkan bagi kalangan bangsawan dan bangsa Belanda, sekarang pun tidak berbeda. Meskipun pendidikan diperbolehkan untuk siapa saja, namun dengan aturan, sistem, dan “adatnya”, pendidikan tidak dapat dinikmati oleh kalangan bawah. Kenyataan ini diperparah dengan kualitas mutu pendidikan negeri kita yang belum memadai, begitu juga dengan sarana prasarana penunjang pendidikan. Tingginya biaya pendidikan ternyata belum diimbangi dengan tingginya kualitas dan mutu pendidikan yang diberikan. Sekolah negeri, sekolah favorit hanya sebatas prestise atau kebanggaan semata.
Dengan amanat konstitusi dan cita-cita para pendiri bangsa ini, seharusnya negara memfasilitasi dan mewujudkan sebuah pendidikan yang berkualitas dengan didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Rakyat berhak memperoleh pendidikan yang layak tanpa terbebani oleh biaya. Kekayaan negara harus dipergunakan untuk menunjang pendidikan. Dengan demikian diharapkan tercipta generasi penerus bangsa yang berkualitas dapat berkontribusi memajukan bangsa dan negara ini.
Kualitas pendidikan juga sangat mempengaruhi moral dan budaya bangsa ini yang tengah mengalami degradasi. Banyak pemimpin atau pejabat di negeri ini yang mengabaikan moral dan etika sebagai seorang pemimpin yang seharusnya menjadi panutan bagi rakyat yang dipimpinnya. Para pemimpin itu bukanlah orang yang tak berpendidikan, tetapi banyak dari mereka adalah berpendidikan tinggi, namun perilakunya tidak mencerminkan layaknya orang yang berpendidikan.
Carut-marut persoalan bangsa di negeri ini seolah menjadi aubade yang mengiringi pejalanan waktu. Fenomena degradasi moral dari pemimpin negeri ini turut mewarnai hari demi hari. Mulai dari kasus korupsi, pelecehan seksual, tindakan asusila, judi, narkoba, dan kasus lainnya adalah sebagian fenomena yang turut andil dalam menghancurkan martabat bangsa. Belum lagi kasus selebriti yang terjerat kasus narkoba, penganiayaan, dan kasus pornoaksi. Sedangkan di tengah realitas masyarakat miskin, merebaknya kriminalitas, pengangguran, pengemis, perdagangan anak, dan pelacuran adalah persoalan lainnya.
Apa makna di balik sejumlah kasus buram tersebut? Bangsa ini baik secara kolektif maupun individual, menunjukkan indikasi mengalami pelemahan karakter sebagai bangsa yang bermartabat mulia, selain karena lemahnya sistem. Bangsa ini telah kehilangan rasa malu dan kehormatan, padahal selama ini mengaku memiliki tradisi besar (the great tradition) sebagai bangsa Timur yang dibangga-banggakan. Bangsa ini secara khusus tengah kehilangan martabat moral dan spiritual atau akhlak sebagai bangsa yang religius atau beragama sebagaimana melekat dalam kepribadian bangsa.
Terdapat pola umum dari sejumlah peristiwa tersebut, yakni tidak adanya atau lemahnya jati diri selaku komunitas atau warga bangsa yang memiliki karakter yang kuat dan berstandar moralitas yang kokoh. Kecenderungan tersebut mengingatkan kita pada tesis Gunnar Myrdal tentang bangsa-bangsa yang dikategorikan memiliki sifat "soft nation", yakni bangsa dengan karakter yang lembek atau lemah.
Bangsa yang mudah terjebak pada godaan, toleran pada penyimpangan, tidak kokoh pendirian, tidak atau kurang memiliki harga diri manakala dihinakan atau terjerumus pada kesalahan, sekaligus tebal muka dan aji mumpung yang membuat diri jatuh. Bangsa yang kehilangan fondasi moral dan spiritual sehingga dengan mudah melakukan tindakan-tindakan yang keliru, salah, dan nista. Bangsa yang kehilangan pedoman sehingga tak lagi mampu membedakan secara jelas tentang nilai benar dan salah, baik dan buruk, serta pantas dan tidak pantas.
Di hadapan bangsa-bangsa lain, bangsa Indonesia seolah kehilangan martabat. Pulau dan hak-hak cipta anak bangsanya dijarah, bahkan tanpa proteksi politik dan kehormatan sebagaimana layaknya bangsa yang bermartabat. Sudut-sudut negerinya diobrak-abrik oleh terorisme dan politik terorisme dunia internasional, nyaris dengan mengikuti seluruh irama politik adidaya tanpa daya kritis dan sikap berdaulat. Budaya-budaya “populis” yang cenderung bersifat liberal, pragmatis, dan konsumtif menggerogoti bangsa ini, bahkan pada generasi muda kita.
Dunia dihadapkan pada gempuran arus globalisasi yang berimplikasi pada liberalisasi dan perdagangan bebas. Globalisasi dianggap sebuah keniscayaan dalam jaman modern ini. Yang perlu dicatat adalah bahwa setiap Negara belum tentu memiliki kesiapan dalam menghadapi ini. Dengan globalisasi, arus budaya, dan ekonomi menjadi sulit untuk dibatasi. Akibatnya, Negara yang belum siap menghadapai arus globalisasi ini akan semakin terseret dan tertinggal. Bahkan ada yang menganggap bahwa globalisasi ini adalah salah satu model penjajahan gaya baru melalui paham neoliberalismenya.
Dengan globalisasi pula, arus informasi dapat dengan mudah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Dan ini berarti memudahkan penyebaran budaya. Selama ini budaya yang berkiblat pada dunia barat sengaja dihembuskan pada Negara-negara lain untuk memudahkan liberalisasi di bidang ekonomi. Masyarakat digiring pada sebuah budaya konsumerisme karena ini akan dapat menjadi penopang pemasaran barang produksi dan jasa yang ditawarkan Negara-negara kapitalis.
c.1 Mengabaikan aspek lokalitas
Sistem yang diterapkan di Negara kita telah mengabaikan aspek-aspek lokalitas. Ini sebagai imbas dari arus globalisasi. Budaya-budaya lokal yang ada tergerus oleh budaya “populis” yang disebarkan melalui akses informasi. Masyarakat lokal enggan menampilkan sosok lokalitasnya dengan seperangkat nilai, norma dan bahasa yang melekat di dalamnya.
Globalisasi, selain menciptakan sebuah masyarakat dan tatanan global tanpa ada batas-batas Negara, tetapi juga di dalamnya mengandung pertentangan yang mengakibatkan glokalisasi. Dalam ranah budaya, masyarakat cenderung memperkuat basis nilai-nilai lokalnya sebagai ciri khasnya. Selain menciptakan nasionalisme kebangsaan dan nasionalisme global, globalisasi dapat memicu terciptanya entitas-entitas lokal dan nasionalisme kedaerahan sebagai manifestasi karakter bangsa yang sarat dengan nilai luhur. Nilai-nilai yang dianut pada budaya yang ada di Indonesia sebagai karakter bangsa dapat dijadikan counter hegemoni budaya ”populis”.
Sudah saatnya bangsa dan negara ini bangkit dari keterpurukan moral dan spiritual untuk kemudian menjadi bangsa yang berkarakter mulia. Krisis ekonomi boleh masih menjadi masalah yang belum terselesaikan, tetapi jangan biarkan bangsa ini pun terpuruk mentalitasnya. Boleh miskin secara materi, tetapi jangan miskin harga diri dan kehormatan. Jangan biarkan anak-anak bangsa ini menjadi pemulung dan tukang menengadahkan tangan ke pihak lain. Jangan jadi bangsa "inlander", ujar Bung Karno dengan lantang ketika menghadapi arogansi politik kolonial.
Di sinilah tugas negara, kekuatan-kekuatan masyarakat (civil society), dan para elite serta mahasiswa sebagai generasi penerus dan kader intelektual. Bagaimana secara bersama-sama membangun kembali karakter bangsa Indonesia. Di masa lalu Sukarno pernah menggelorakan program nasional "nation and character building" dan gerakan berdikari.
c.2 Dari mana memulai?
Pendidikan merupakan langkah paling sistematik dan berjangka panjang untuk menjadi media utama membangun karakter bangsa, yang dilakukan secara simultan. Pendidikan merupakan media internalisasi nilai-nilai kebangsaan yang paling strategis. Dimulai dari pendidikan di lingkungan keluarga, masyarakat, dan lembaga-lembaga pendidikan formal dengan langkah-langkah yang sistematik yang muatan utamanya nilai-nilai luhur kebangsaan.
Tanamkan kembali kebanggaan sebagai anak bangsa yang bermartabat, berdaulat, dan berkepribadian mulia. Pendidikan agama, akhlak atau budi pekerti, dan pendidikan kewargaan dirancang-bangun secara lebih sistematik dan komprehensif. Langkah lain ialah penanaman nilai-nilai kepribadian bangsa melalui pranata-pranata sosial di masyarakat dengan berbagai pendekatan yang bersifat kultural. Melalui kegiatan pengajian, karang taruna, remaja masjid, dan kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya ditanamkan nilai-nilai akhlak atau kepribadian bangsa yang utama. Modal-modal sosial ini yang dapat dijadikan modal dalam membangun sebuah karakter bangsa yang luhur, bermartabat yang pernah melekat pada bangsa kita tanpa menggantungkan nasib pada bangsa lain.
***
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik, 2009. “Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2009”, Berita Resmi Statistik No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009.
Budiardjo, Miriam. 1982, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta.
Fakih, Mansour. 2001, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Cetakan ke-1, Insist Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Mahfud MD, Moh. 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Penerbit Gama Media atas kerjasama Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation, Yogyakarta.
Marwah, Sofa. 2003, “Partai Politik dan Prospek Pemilu 2004 (Suatu Kajian Budaya Politik Elite dan Massa)”, Swara Politika: Jurnal Politik dan Pembangunan, Vol. 3. No. 2, Oktober 2003, diterbitkan oleh Laboratorium Ilmu Politik FISIP Unsoed, Purwokerto.